Jogja, 15 April 2016
Hari itu, aku berangkat jam 2 pagi ke Jogja demi mendekati mimpi. Seperti yang seseorang selalu katakan, aku percaya: ‘Kita Bisa’. Jadi, walaupun bis malem itu ngebut dan sedikit goyang mengkhawatirkan, aku tetap duduk di kursiku sambil berdebar-debar.
Padahal kemarinnya, aku masih di Cilacap, bertemu anak-anak kecil kelas 1 SD yang juga menjadi mimpiku.

Sekolah ini, 12 tahun yang lalu, telah selesai membesarkanku selama 6 tahun.
Saat aku kembali ke sana tahun ini, guru-gurunya berkata sedikit geli dan penuh kasih sayang,
“Anak-anak, Miss ini muridnya Ibu waktu dulu.”
Walaupun sudah bertemu keriangan dari sekian banyak anak-anak yang mengekoriku sambil berlarian dan berusaha kabur main ayunan, aku tidak ingin melemparkan alasan apapun untuk keputusanku berangkat ke Jogja. Yang aku pahami, aku mempunyai kesempatan sekali lagi untuk mengejar keinginanku sedari dulu.
Kali ini, aku tidak akan menyerah.

Jadi,
hari itu, aku sampai di Jogja yang dicintai setumpuk manusia dengan romansa. Sudutnya berbeda dengan kenanganku kuliah selama 4 tahun kemarin. Tapi, aromanya sama.
Aroma kebahagiaan.
Hari itu adalah interview pertama dengan HRD. Aku hanya mengernyit sedikit karena merasa super grogi–kenapa aku tidak mempersiapkan apapun?!
Ketika ada seorang laki-laki datang dan memintaku masuk untuk memulai interview, aku hanya merasa bahwa aku akan menjawab apapun dengan sejujurnya.
Bagaimanapun, pekerjaan ini adalah mimpiku.
“Siang, Mba. Namanya siapa?” tanya si HRD.
==============================================
Sudah 12 hari yang lalu.
Dua belas hari yang lalu adalah hari di mana aku memutuskan memulai pengejaran ini. Beberapa hari setelahnya, teleponku berdering; memberiku kabar untuk datang lagi ke Jogja.
Tapi, sebahagia apapun kita, pasti, selalu ada yang kita korbankan, kan?

==============================================
Ada hari di mana kita harus memilih.
Untuk bertemu keceriaan dari mereka yang berseragam putih-merah atau untuk menciptakan keceriaan lewat kata-kata di kota impian?
Aku hampir habis akal untuk memilih. Tapi, tahu-tahu akhirnya, aku bersalaman dengan seorang wanita di kantor itu.
Di Jogja.
Katanya,
“Selamat bergabung bersama kami.”

Ya, terhitung sejak 21 April 2016, saya resmi menjadi editor di Inspira Book.
==============================================
Untuk duduk, kita harus memastikan kursinya terlebih dahulu.
Untuk berjalan ke kursi, kita harus melewati banyak orang dan banyak kejadian.
Untuk mewujudkan mimpi, tidak semudah itu.
Kenapa aku bisa mendapatkan itu–kenangan sekaligus impian yang jadi nyata?
Karena aku memutuskan untuk berlari sejauh yang aku bisa untuk mendapatkannya.
Di titik ini, aku mengamini segala filosofi di balik tagline ‘Kita Bisa’ yang seseorang katakan.
Sesuatu yang selama ini hanya di benak kita, tidak menjamin dirinya untuk tidak bisa tercapai.
Tidakkah kamu berpikir begitu?
Regards,
Aprilia.