Cilacap, 23 Oktober 2016.
Pagi hari yang biasa. Kedinginan, walaupun dilapisi selimut. Suara yang sayup-sayup terdengar, menyuruhku bangun dan melihat matahari. Sesekali menguap, tapi mata yang berat memang selalu jujur, kan?
Pagi itu tidak ke mana-mana. Baru tiba semalam saja. Siapa yang mengajak pergi sepagi ini? Bahkan langit masih gelap sedikit, di sela-sela cahaya yang ternyata diam-diam muncul.
Pagi itu tidak ke mana-mana. Ponselku sepi tidak berdering. Sisa janji minggu kemarin yang belum terbayar sepertinya tidak bisa dilunasi. Salahku; jarak yang berjauhan menahun. Bahkan untuk bertemu orang-orang ini saja tidak semudah meluncur dengan matic segera.
Ponselku sepi tidak berdering. Sampai hari mengendap dengan terang, pembatalan pergi bersama yang sudah ditebak pun datang.
Lalu, kedipan tiga detik dari layar. Nama seseorang muncul minta bertemu.
Maka menjelang siang, bukan lagi tak ke mana-mana. Setelah disiram air mandi, aku bergegas.
Menuju seorang sahabat yang sedang mengandung menuju HPL-nya.
Namanya Rani.
Dulu kami suka saling bernyanyi. Aku melantunkan lirik “Beranjak dewasa kakakku Rani tercinta,” sementara ia akan berdendang, “Aku tergila-gila gaya bicaranya. Lia, Lia, Lia.” Bersenda gurau, jangan-jangan Sheila On 7 menulisnya untuk kami. Ha. Harapan tertinggi. Walaupun imitatif, kami bernyanyi dengan bahagia.
Di siang hari, kami pergi ke mana-mana. Aku mencetak foto orang-orang yang paling membahagiakanku, and let her know. Dengan makhluk kecil di perutnya, ia berkeras menemani jalan kaki. Setiap goncangan di jalan raya, aku takut. Tapi dia dengan santainya tertawa, berkata tidak apa-apa.
Di siang hari, kami pergi ke mana-mana. Menunggu giliran membeli makanan yang iklannya menggoda hati. Berdiskusi paket mana yang akan diambil. Membayangkan rasa yang sebenarnya sudah pernah aku tahu, tapi tak keberatan mengulangnya lagi bersama-sama.
Duduk dan makan. Lalu mata bertemu sepasang yang lain.
“Li. Ih, udah lama ga ketemu kamu!”
“Gimana, gimana? Tambah cantik, kan?”
“Iya. Tambah putih!”
“Ya iyalah, orang aku pake bedak.”
“Tambah tirus!”
*seketika merasa jadi lelucon* hahahaha
Tiga orang lain dari almamater yang sama.
Kami berakhir duduk berlima di antara dua meja kecil. Tawa yang tidak berhenti, rasanya tepat seperti 7 tahunan yang lalu. Berkata apapun bisa menjadi tawa. Ledekan kecil tidak berhenti, sampai pelan-pelan mencari udara karena terlalu bersemangat terhibur.
Kami berakhir duduk berlima di antara dua meja kecil. Sekalipun penuh canda, ada topik yang tak bisa lepas dari manusia seumuran kami. “Kapan?” yang selalu mendebarkan, seakan-akan menjadi kata penanda ekspresi kesal dan tawa tak berkesudahan. “Kapan?” yang kemudian diplesetkan terus-terusan, sampai tak tahu lagi kapan cerianya tertawar.
Kami berakhir duduk berlima di antara dua meja kecil. Aku bahkan bisa merasakan betapa mereka berusaha hati-hati untuk tidak menyinggung satu nama padaku. Siang hari yang tak terduga, aku sedikit tersentuh pada kata-kata lucu yang lebih banyak dilempar. Temanku!
Lalu berakhir pada salaman kembali. Salaman untuk pulang, maksudku. Makhluk dalam perut Rani menendang ingin pulang, kepanasan. Lalu kami berlima berpisah lagi, mengucap doa masing-masing, dan entah kapan bisa bertemu duduk kembali.
Sore hari menjelang Maghrib.
Ponselku tidak sepi walau tidak berdering. Ada pesan masuk dari seseorang. Mau ke rumahmu, katanya.
Suara motor yang masuk pekarangan. Aku bergegas ke arah pintu dengan tidak sabar. Di sana, ada sosok yang lama tak bersua, sekalipun sering membalas pesan di layar ponsel yang dibatasi jarak Jogja-Cilacap.
Lalu waktu yang beterbangan. Dia datang dengan cerita, aku pun berbagi beberapa. Kami berkeluh satu sama lain, kemudian menguatkan satu dengan lainnya. Ada bagian-bagian hidup yang tidak kami pahami. Tapi, lewat sesi bercerita, ada kisah yang bisa kami mengerti sedikit.
Lalu waktu yang beterbangan. Setelah air wudu dan kibasan mukena merah muda, sedikit lagi kata-kata yang bertemu. Ah, wanita. Sebentar saja bertemu rasanya tidak pernah cukup. Kalau diukur mungkin telah puluhan menit, tapi bagi kami hanya seperti 30 detik.
Setelah melambai dari beranda rumah, dia berpamitan. Kerudungnya ikut melambai juga. Seluruhnya ikut melambai. Kami melambai. Lalu berpisah hari itu. Suatu hari, pasti bertemu lagi, kan?
Yogyakarta, 24 Oktober 2016.
Di sela deretan kata yang ditulis dan dibaca. Cilacap hari kemarin rasanya penuh dan menyenangkan.
Obrolan kami?
Ada kesan yang ditangkap.
Kami bahkan sama sekali tidak berfoto karena waktu yang membuai dengan bahagia.
Terima kasih!
Setelah lama tidak bertemu beberapa orang,
Aprilia,
-masih sama seperti yang dulu, dengan bedak yang sedikit lebih tebal-