Why don’t you hum a little song to yourself to pass the time, to forget how bad it hurts?
Lima tahun yang lalu saya tulis kalimat itu sebagai status saya di Facebook. Lima tahun lalu sepertinya saya sedang sakit hati sampai ingin menghibur diri sendiri keras-keras.
Lima tahun lalu, saya masih 19 tahun dan sedikit panik karena menjelang kepala dua.
Ada tuntutan untuk bersikap lebih dewasa yang saya rasakan. Akibatnya, saya juga menuntut orang-orang terdekat saya untuk bersikap lebih matang dan lebih bisa saya andalkan.
Tidak tepat, ternyata.
Tidak semua orang bisa mengerti kenapa saya menangis dan sakit hati. Beberapa bahkan tidak sadar bahwa merekalah alasan saya diam-diam membenci hidup. Ada perasaan ingin diperhatikan yang bercampur dengan ketakutan bahwa saya tidak sepenting itu di dunia mereka dan patut diabaikan. Perasaan yang sama sekali tidak bisa didiamkan, padahal saya menghabiskan waktu untuk berjuang keras-keras hanya demi duduk di sebelah situ.
Why don’t you hum a little song to yourself to pass the time, to forget how bad it hurts?
Saya sering duduk diam sendirian, berpikir kenapa Tuhan menulis cerita yang ini untuk saya, bukan untuk dia yang gadis populer; toh hidupnya terasa sempurna sekali. Kenapa juga bukan untuk dia, yang sering kali menebar pesona sekaligus luka bagi yang dilewatinya. Kenapa ketika kita jalan pelan-pelan di atas kerikil, selalu ada yang mendorong jatuh hingga ujung batu menggores sampai ke kaki?
Tapi mungkin Tuhan ingin tahu seberapa keras tempurung lutut saya.
Saya suka berpikir, Tuhan mungkin sedang bercanda. Di titik tertentu, mungkin nanti saya akan mendapati perasaan bahwa Tuhan berkata, “Wah, bisa sampai sini juga, kan?”. Saya pun akan bisa mengangkat wajah tinggi-tinggi sambil tertawa betapa saya dulunya menangisi sesuatu yang sesungguhnya sepele.
Why don’t you hum a little song to yourself to pass the time, to forget how bad it hurts?
Kalau sedih, saya menangis; kadang diam-diam, kadang terang-terangan. Kadang tidak menangis, kadang menahan kelu. Saya hanya tiba-tiba ingin mendengar seluruh lagu bahagia dari seluruh negara, memastikan diri sendiri tidak kehabisan suplai keceriaan yang bisa didapatkan seseorang. Kadang saya berharap, bagian-bagian kenangan yang menyakitkan ini bisa dilepas dengan mudah seperti pada puzzle anak usia 4 tahun.
Tapi ternyata, hidup memang tidak semudah itu. Kalau hidup itu mudah, sekarang saya mungkin sudah menulis serial fiksi terbaik di dunia, sementara kamu sudah menjadi presiden yang menyejahterakan rakyat banyak tanpa hambatan. Kalau hidup itu mudah, kata “sakit” akan dilupakan kamus tebal, sementara semua orang hanya akan mengingat bentuk senyum melengkung, bukan air mata yang basah.
Dulu, saya berpikir begitu.
Tapi ternyata, percaya atau tidak: hidup itu mudah.
Ya, hidup itu mudah. Kita-lah yang membuatnya rumit.
Why don’t you hum a little song to yourself to pass the time, to forget how bad it hurts?
Kalau merasa sakit, lakukan apa yang bisa menyembuhkanmu.
Kalau merasa sedih, tertawalah segera pada apapun yang terlintas di kepalamu.
Kalau merasa rindu, katakan pada yang kamu rindukan dalam-dalam.
Hidup itu ternyata sederhana.
So, why don’t you hum a little song to yourself to pass the time, to forget how bad it hurts?
Kala itu saya merasa dunia tidak membuat saya melupakan sakit hati.
Coba tebak?
Ternyata, saya-lah yang bisa.
Ya, sakit hatimu, obatnya kamu.
Yogyakarta, 1 November 2016.
Di-post sehari kemudian,
Aprilia, melihat kamu dari sini.
Leave a comment