Catatan pertama kali setelah bekerja.
Februari, 2017
Waktu ada lowongan kerja, tulisan posisi Writer dan Editor ditaruh bersebelahan. Saya lagi pusing mikirin media pembelajaran waktu tiba-tiba iklan kerja ini muncul di timeline saya. Sontak, saya kepikiran untuk daftar. Penerbit buku! Siapa yang ga tertarik kerja di bidang yang diminati?
Saya ga tau harus daftar posisi apa. Writer? Saya suka menulis, suka sekali. Tapi tulisan saya kebanyakan fiksi dan kadang-kadang komedik, ga jarang juga mendadak puitis. Saya yakin tempat ini bukan tempat produksi tulisan sejenis itu.
Tapi… editor?
Saya sering kali terganggu dengan typo dan kalimat yang sama sekali tidak efektif, memang (padahal sendirinya nulis masih banyak kurangnya), dan saya pun tertarik bekerja sebagai editor. Tapi, saya sama sekali belum pernah “secinta” itu pada dunia buku non-fiksi (sesuai karakter penerbit ini). Menjadi editor berarti mengharuskan saya betah membaca naskah-naskah non-fiksi. Apalagi, setelah saya cari informasi jobdesc editor yang ternyata cukup rumit, saya makin yakin bahwa saya harus cinta tulisan non-fiksi.
Tapi akhirnya, saya menulis “Editor” di subjek email lamaran pekerjaan saya.
Now or never, pikir saya.
Setelah puluhan hari sekian minggu menerjunkan diri ke naskah non-fiksi dan konten-konten informatif-inspiratif, saya baru menyadari satu hal.
Saya bahkan lupa kalau tadinya saya ogah membaca non-fiksi sejauh ini.
Buku non-fiksi yang dulu saya baca sampai habis adalah hanya yang topiknya mengenai sejarah politik Indonesia. Tapi sekarang; coba lihat gundukan to-do-list yang saya coret-coret. Saya bahkan membaca kisah nyata orang-orang sukses kuliah di luar negeri, prosedur visa, sejarah singkat negara-negara lain, panduan berorganisasi, metode bisnis dengan media sosial, langkah-langkah bisnis kuliner, informasi SBMPTN, daftar universitas dunia, dan lain-lain.
Saya lupa kalau saya, tadinya, tidak membaca non-fiksi.
“Kamu kelihatannya menikmati pekerjaanmu.”
Kalimat ini dilontarkan tidak hanya oleh satu orang saja. Yang berkata adalah mereka yang tahu kegilaan saya menulis, sampai-sampai nekat berpindah jurusan demi belajar menulis dan bahasa yang lebih baik. Tiap kali, saya hanya tertawa sambil lalu; toh nyatanya memang saya menikmati pekerjaan ini. Paling tidak, saya berusaha tidak mengeluh setiap menit.
Tapi, ya, saya juga mengeluh, terkadang. Seperti manusia pada umumnya.
Mata saya cuma dua, tapi hati saya satu. Telinga saya dua, pun tangan saya, walaupun jari-jarinya sepuluh.
Ada masa-masa di mana saya merasa totally useless dan tidak pantas ada di tengah-tengah tim. Ada juga masa-masa di mana saya kebingungan dan hanya bisa mencari tahu sendiri. Ada waktu di mana saya ingin menghapus semua revisi dan mulai dari awal, atau bahkan tidak sama sekali. Ada saat-saat di mana saya panik menghitung perkiraan waktu naik cetak padahal halamannya banyak sekali. Ada juga waktu-waktu saya kelelahan, karena, sekali lagi, saya merasa useless.
Hal yang kemudian bisa saya lakukan adalah…… mengedit kembali.
*yaiyalah*
Bagaimanapun, saya penyunting, bukan penulis.
Saya mungkin tidak tahu masjid apa yang ada di Skotlandia, atau bagaimana prosedur mengajak suami berkuliah di luar negeri. Penulis-penulis dalam Tim Produksi tahu; mereka yang mencari informasi dan menyusun kalimatnya. Tapi, saya tidak.
Saya mungkin tidak tahu aturan-aturan aneh apa saja yang ada di UK atau bagaimana sistem pendidikan di Taiwan. Penulis-penulis dalam Tim Produksi tahu; mereka yang memang bekerja keras membaca sumber berita dan mendapat infonya. Tapi, saya tidak.
Tapi, tahukah?
Mereka membagi ilmunya pada saya. Ya, karena saya penyunting, bukan penulis. Mereka “melempar” naskahnya pada saya. Lalu yang mereka tulis bersama-sama itu akan berakhir di depan mata, berupa sekian halaman yang perlu dibaca.
Dari sanalah, ilmu yang mereka miliki bisa saya nikmati.
Isinya. Menulisnya.
Ternyata, walaupun anu anu anu *sensor*, menjadi “penyunting, bukan penulis” ini menyenangkan.
PS: Sekarang saya bahkan hafal gaya menulis Mas Imam, Mba Anggun, Mas Denal. Kenapa coba?
Ya! Karena saya penyunting, bukan penulis.
Ngantuk, tapi ga ngantuk,
Lia (or people keep calling me April too… Oh well, okay, it’s “Aprilia”)
Aku santri bukan kyai hehe
LikeLike