Kalau bicara pernikahan, yang terbayang adalah sakral yang diikuti meriah. Ada beberapa kondangan yang sudah saya datangi, yang lalu fotonya bisa saya upload secepat kilat, dengan caption manis, setelah sebelumnya mengucap doa langsung sambil berjabat tangan.
Tapi, pernikahan yang satu ini rasanya tidak bisa semudah itu saya perlakukan dengan sama.
Kenapa?
Karena, yang baru saja menikah adalah separuh hidup saya: kakak kandung perempuan saya, Mba Lala.
Saya lahir 3 tahun setelah Mba Lala. Sama-sama perempuan, tapi dengan sifat yang berbeda. Mba Lala kecil tomboy, rambutnya pendek seperti laki-laki, tapi mulai panjang di kelas 6. Lia kecil suka menangis, apa-apa maunya ikut Mba Lala, suka sekali diberi baju kembar yang sama seperti punya Mba Lala, padahal Mba Lalanya menolak kembar terus-terusan.
Mba Lala semakin dewasa, tapi saya masih saja seperti anak kecil. Mungkin karena saya bungsu kala itu, atau mungkin karena saya telanjur penakut dan manja. Saya merengek kalau diminta melakukan hal baru, berharap Mba Lala bisa melakukannya untuk saya. Saya tidak mau pergi sendirian, asal Mba Lala menemani saya. Saya marah dengan buru-buru, sementara Mba Lala terus menasihati saya untuk tidak sering-sering pasang muka cemberut.
Mba Lala seperti Papa dan Mama kedua yang saya punya.
Saya masuk sekolah 3 tahun setelah Mba Lala. Dari TK sampai SMA (kami selalu masuk ke sekolah yang sama), ada banyak orang yang mengenali saya sebagai “adeknya Lala” (sampai-sampai saya pernah nulis “adeknya Lala” sebagai deskripsi diri saya di Twitter). Baju dan seragam? Apapun yang saya kenakan dan pakai di sekolah, kebanyakan bekas Mba Lala!
Saya punya teman-teman sendiri, sebagaimana Mba Lala. Tapi, waktu saya sakit tertusuk serpihan kayu, sakit perut, atau bahkan kemasukan cicak (semuanya terjadi saat SD), saya tidak berteriak memanggil teman saya. Saya memanggil-manggil Mba Lala, berharap sebentar saja dia datang supaya saya tahu saya tidak apa-apa. Ya, dia memang datang. Saya, yang saat itu menangis, langsung ingin memeluknya, tapi dia menolak karena malu. Atau mungkin karena ingus saya ke mana-mana. Entahlah, menyebalkan! Tapi setidaknya, dia menunggu saya di UKS, sampai Papa datang dan menjemput saya.
Begitu saja, lalu dia kembali ke kelas dengan temannya.
Saya suka sekali bulan April. Siapa sangka, ternyata orang penting saya ini menikah di ‘bulan saya’.
Dulu sekali, saya masih bungsu yang super manja. Tapi, di hari pernikahan Mba Lala kemarin, saya berada di bawah panggung dengan adik saya yang jaraknya 11 tahun (atau 14 tahun dengan Mba Lala). Saya bertanya-tanya, apakah adik saya juga memikirkan hal yang saya pikirkan?
Sejak malam midodareni, banyak orang mengacungkan HP dan kamera pada Mba Lala, termasuk adik kami. “Ingin berfoto dengan Mba Lala,” kata mereka. Saya mengambil beberapa gambar Mba Lala dengan teman-teman dan saudara. Tapi, saya?
“Mba, foto sini,” kata saya, akhirnya.
Lalu dia mendekat, dan kami selfie dua kali. Hasilnya jelek, saya protes. Belum sempat diulang, sudah ada lagi yang mengajaknya berfoto.
Saya diam. Detik itu saya sadar, ini adalah harinya. Saya tidak boleh merengek banyak-banyak padanya, sebanyak yang selalu saya lakukan sejak kami masih kecil.
Semua orang ingin berfoto dengan pengantin.
Saya tidak lagi meminta berfoto dengan Mba Lala setelah malam midodareni. Kamarnya penuh oleh teman-temannya, yang berjumlah lebih banyak daripada saya yang seorang diri . Untuk masuk ke kamarnya pun saya harus ‘berjuang’, karena di sepanjang jalan ada saja yang tiba-tiba harus saya lakukan, seperti: mengonfirmasi jas, memanggil mama, mencari plastik untuk makanan, menyerahkan isi staples…
Semua orang ingin berfoto dengan pengantin.
Semua temannya memasang foto dengan Mba Lala, dengan caption apa saja yang menarik hati, mulai dari doa hingga topik yang hanya mereka ketahui. Saya membaca sambil berpikir dan sadar sepenuhnya: dunia kami sudah berbeda sejak kami mulai punya teman masing-masing.
Tapi, di detik yang sama, saya juga ingat:
Mba Lala selalu jadi Mba Lala saya, sekalipun dia punya segudang teman.
Mba Lala suka bepergian, tapi dia selalu bertanya apakah saya mau ikut. Mba Lala suka merajut, lalu dia membuatkan beanie biru untuk saya. Mba Lala tau saya suka bonus-bonus lucu dari majalah, maka dia membelikan majalah yang sama persis dengan miliknya (beserta bonus) untuk dikirim ke kantor saya. Mba Lala tau saya marah-marah karena WA saya jarang dibalas, tapi dia tidak balik marah pada saya. Mba Lala tau saya malu bertanya pada penjaga toko saat ingin membeli rok, lalu dia rela datang jauh-jauh hanya untuk bertanya apakah ada rok dengan ukuran yang muat untuk saya. Mba Lala selalu sukarela memberikan semua bajunya pada saya, entah saat dia sudah bosan atau bajunya kekecilan (dan tidak keberatan saat saya langsung memakai bajunya untuk jalan-jalan).
Mba Lala selalu berani, tapi dia berubah menjadi wanita malu-malu saat akan bertemu seorang laki-laki. Laki-laki yang disebutnya sabar inilah yang kemudian datang pada keluarga kami dan hari itu berdiri bersama Mba Lala saya.
Ya, hari di mana Mba Lala saya menjadi pengantin yang paling cantik.
Mba Lala, selamat menikah!
PS: Tell Mas Arief, he’d better treat you well. If he doesn’t, he’ll regret it SO MUCH.
Yogyakarta, 17 April 2017 (dua hari setelah akad nikah Mba Lala dan Mas Arief)
Adeknya Lala,
Aprilia
atau
yah–Lia.