Saya pernah menyukai JKT48 sedemikian rupa. Okay, it’s another random story, but I promise you I’ll get you back in the line. Ada satu nama member JKT48 yang saya suka: Viny. Terlepas dari rambut pendeknya, Viny menjadi cermin karakter perempuan yang selalu ingin saya tanamkan di diri saya sejak dulu; suka baca. Lalu, suatu hari, ia berkabar pada pengikutnya di linimasa bahwa ia baru saja membeli buku yang ditulis oleh Eka Kurniawan.
Pencarian saya pada karya penulis ini, akhirnya dimulai.
Bentuk tulisan pertama kali yang membuat saya benar-benar terhanyut untuk membaca dan menulis adalah cerita pendek. Maka sore itu, ketika akhirnya saya menemukan nama Eka Kurniawan, saya cukup terpukau. Ini kumpulan cerpen! I’d be super happy to read them all.
Maka, jadilah. Saya membayar segera dan melibatkan diri pada tulisan Kurniawan.
Mari duduk sebentar. Saya akan menuliskan review buku ini.

Judul: Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: Bentang Pustaka
Berisi 15 cerpen, buku ini merupakan kumpulan karya Eka Kurniawan yang beberapa di antaranya pernah pula dimuat dalam media lain. Sekilas, buku ini mengingatkan saya pada novel terjemahan (yang isinya lebih banyak berupa potongan-potongan prosa dan puisi) yang dulu pernah saya baca–mungkin karena judulnya sama-sama panjang atau warna dan kesan cover-nya yang mirip. Saya lupa judulnya, barang kali Cerita Sedih yang Tokoh Utamanya Mati, atau sebagainya.
Kesan Pertama dari Cerpen Pertama
Nggantung–itu kesannya. Tapi anehnya, cukup dalam. Di cerpen Gerimis yang Sederhana, Kurniawan mempertemukan Efendi dan Mei di Amerika yang awalnya sedikit terhambat dengan kehadiran pengemis. Entah apa dosa yang sudah dilakukan pengemis lainnya di Jakarta kepada Mei–tapi Kurniawan membuat saya berpikir terlalu keras, jangan-jangan pertemuan mereka bakal batal gara-gara pengemis.
Di akhir cerita, pengemis ini tetap menjadi bagian yang meresahkan mereka. Bagi Mei, memang–tapi Efendi? Tiba-tiba saja, ia tampak begitu memikirkan pengemis. Siapa sangka, saya telah dituntun Kurniawan untuk kemudian menyadari bahwa permasalahannya berubah fokus! Pada akhirnya, kisah (mungkin) cinta antara Efendi dan Mei yang sudah telanjur meluas di kepala saya ini pun mendadak bubar, membuat saya tertawa sebal dan tak percaya, sebagaimana Mei yang tawanya tak kunjung berhenti.
Saya rasa, di sini, Kurniawan cukup lihai mengajak pembacanya berlompatan dengan sederhana, melalui cerita yang sederhana pula.
Buku yang Multi-rasa
Seperti judul bukunya, saya menemukan cerpen Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi. Kurniawan, bagi saya, mengajak pembaca bertemu tokoh yang terhanyut pada alam bawah sadarnya. Bayangkan saja: seorang wanita pergi ke suatu tempat yang muncul di mimpinya untuk bertemu cinta sejati! Bukankah itu terasa terlalu manis dan naif? Untuk sebentar, saya merasa Kurniawan pastilah penulis yang sentimental, penuh rasa cinta dan pengharapan. Tapi tahu-tahu, di cerpen Teka-Teki Silang, saya dibuat bergidik dan bertanya-tanya tentang Juwita yang telah menusuk ibunya sendiri.
Sebelumnya, saya juga merasakan geli sekaligus ngilu dalam cerpen Membuat Senang Seekor Gajah. Cerita ini simpel, mengingatkan saya pada tebakan zaman dulu (“Gimana caranya masukkin gajah ke dalam kulkas?”), tapi ternyata penyelesaiannya tidak sesimpel itu. Tapi–tunggu dulu! Penyelesaian yang tidak sesimpel itu pun pada akhirnya menjadi hal yang simpel kembali, dari kacamata tokoh cerita yang masih anak-anak. “Membuatnya (gajah) senang kupikir hal yang lebih penting daripada apa pun. Percuma ia hidup jika tidak senang,” adalah kalimat yang paling mengena bagi saya.
Saya rasa, Kurniawan mempunyai misinya sendiri lewat cerpen ini.
Bahkan Lebih Banyak Rasa
Dari ke-15 cerpen di buku ini, saya menyukai Kapten Bebek Hijau teramat dalam. Bagi saya, cerpen ini terasa ringan sekaligus sarat makna. Lagi, bagi saya, Kurniawan seperti menekankan ironi betapa seseorang sangat ingin menjadi “sama” seperti yang lain, padahal bisa saja ia berpotensi “mencolok” dan “berbahaya” di lingkungan yang lebih luas. Atau, bisa saja, maksud Kurniawan hanyalah sesepele “jangan menoleh ke masa lalu dan terbayang-bayang berlebihan”. Yang mana saja–yang penting, bagi saya, cerpen ini menunjukkan sisi yang lain lagi dari Kurniawan. Menarik!
Coba lihat cerpen Jangan Kencing di Sini. Dengan lugas, Kurniawan membuat tokohnya menyukai hal yang tadinya dibenci. Lebih jauh lagi, si tokoh menikmatinya! Kesan yang hampir sama ini saya tangkap di cerpen La Cage aux Folles. Lelaki normal manapun mungkin akan bersikap “sangat A.B. Laksono” ketika disodori seorang waria yang belum berganti kelamin, tapi bisa juga bersikap “sangat A.B. Laksono (lagi)” ketika berhadapan pada waria yang telah berganti kelamin dan serupa bintang film porno yang dicintainya sebatas layar kaca. Sekalipun begitu, saya mengakui bahwa cerpen yang terakhir saya sebut ini perlu sedikit pemahaman mendalam mengenai tokoh Kemala. Ya, saya agak sedikit kesulitan di pertama kali baca.
Ini sama halnya dengan cerpen Tiga Kematian Marsilam. Kurniawan menunjukkan kelasnya sendiri dengan alur maju-mundurnya. Tidak masalah, bagi saya. Berapa kalipun dibaca, karya seni cerpen ini toh tetap akan menghasilkan nilai yang mengagumkan. Pun begitu dengan cerpen Penafsir Kebahagiaan, yang bagi saya terasa jujur bercerita.
Kurniawan, lagi-lagi, menghadirkan tokoh yang begitu terbukanya pada hidup–betapa ia mampu membuat pembaca merasa bahwa kisah semacam ini pun dekat dengan kehidupan sehari-hari, sekalipun setting-nya jauh dan permasalahannya menyangkut norma dan nilai sosial.
Kurniawan dan Emosi yang Diberikan
Menurut saya, semua cerpen di sini ditulis dengan apik dan bernilai. Di cerpen Gincu Ini Merah, Sayang, misalnya; saya turut sedih membayangkan diri sebagai Marni yang mencintai Rohmat Nurjaman, tapi luput dalam hal perasaan suaminya itu, sebagaimana sebaliknya. Seandainya sejak awal mereka saling jujur dan bicara, cerita ini mungkin tidak akan ada. Tapi, dasar Kurniawan, cerita ini lahir begini, dan mungkin saja Marni serta Rohmat Nurjaman kini tengah mengurus surat cerainya (kalau ini terjadi di kehidupan nyata). Padahal, mereka sudah menempuh lonjakan besar dari “pelanggan-pelacur” menjadi “suami-istri”.
Emosi. Itu yang dimainkan Kurniawan dari tiap ceritanya. Coba bersandar dan baca Setiap Anjing Boleh Berbahagia, Membakar Api, atau Pelajaran Memelihara Burung Beo—saya rasa kita akan sepakat bahwa Kurniawan memang menjadikan cerpen ini habis sekali duduk, tapi tidak dengan kesan yang ditinggalkan. Tapi sekali-kali, kepasrahan memang jadi kunci vital dalam cerita. Kamu bisa membaca Cerita Batu, sebagai contoh. Ada hal-hal yang ingin Kurniawan gambarkan sebagai ketidakberdayaan, tapi bukan kemustahilan jika dijalani dalam tabah (walau akhirnya tidak selalu cemerlang). Atau, untuk memberimu kesan yang lebih jelas, simak cerpen Pengantar Tidur Panjang. Dengan indah, Kurniawan membawa tokoh “Bapak” lewat kenangan anaknya, bahkan hingga dikisahkan tiada.
Maksud saya… Pembaca mana yang tidak trenyuh?
Pada akhirnya,
setiap cerpen di dalam buku ini diselesaikan dengan epic oleh Kurniawan. Menurut saya, kalaupun masih ada yang menggantung, itu menjadi hak istimewa bagi kita untuk mengira-ngira kelanjutannya.
Tapi, lagi-lagi menurut saya, karya ini bisa dinikmati begitu saja–sebagai satu tulisan berharga dari seorang Eka Kurniawan.
PS: Buku ini adalah “perkenalan” saya pada Eka Kurniawan.
Pembaca Kurniawan yang Baru,
Aprilia