Seseorang pernah berkata, “Untuk mencari tahu if you are into a writer, bacalah cerpen-cerpennya dulu.” Saya tidak selalu mengamini hipotesis ini. Tapi, lain ceritanya dengan seorang nama: Dewi “Dee” Lestari.
Setelah lebih dulu membaca Rectoverso dan Filosofi Kopi (sekitar 2008, saat masih SMA), saya mulai bergerak.
Pada akhirnya, saya pun membaca Supernova (walaupun cukup telat, karena saya sebelumnya sedang menikmati membaca serial Harry Potter berulang kali), episode “Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh“.
Review Buku Supernova KPBJ

Judul: “Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh (KPBJ)”
Penulis: Dee Lestari
Penerbit: Bentang Pustaka
Dimas dan Reuben
Pemula dari kisah ini adalah sepasang gay yang menurut saya justru merupakan kombinasi tepat bagi kisah persahabatan lelaki. Dimas dan Reuben sangat berbeda, tapi memiliki kekuatan karakter yang setara. Mereka seperti David Gordon dan Ethan Craft dalam serial Lizzie McGuire, atau bahkan Michael Moscovitz dan John-Paul Reynolds Abernathy IV dalam kisah Princess Diaries (tapi dalam cerita-cerita tersebut, tokoh-tokoh ini tidak “dipersatukan”. Ini otomatis sudah jadi poin menarik bagi saya karena Dee berani menggabungkan mereka).
Buku ini lahir ketika isu mengenai gay masih terhitung baru dan saya pun merasa Dee play on the safe side. Kenapa? Ya, walaupun disebut sebagai gay, chemistry Dimas dan Reuben agak kabur. Mereka malah lebih mirip teman sekelas yang suka berdiskusi, walaupun Dimas memang menyatakan bahwa mereka “bukan pasangan gay umbar libido”. Bagi saya pribadi, ini bukan masalah besar karena mereka tetap bisa “menyatukan” kepingan cerita di dalam buku untuk pembaca (atau, istilah saya: seperti ikat rambut pada gaya kucir kuda).
Dimas dan Reuben yang memutuskan menulis sebuah cerita sedikit banyak mengingatkan saya pada tokoh Pramana dalam buku “Halo, Aku Dalam Novel!” karangan Nuril Basri. Mulanya, saya kira plotnya sama, bahwa Re dan Rana hanyalah rekaan mereka, sebagaimana Halo yang lahir dari tangan Pramana.
Tapi ternyata, novel karya Dee ini menghasilkan sesuatu yang berbeda!
Berbeda Tapi Satu: Dimensi
Secara sederhana, dongeng Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh menjadi dasar dari kisah romansa yang ditulis Dimas dan Reuben. Menariknya, Dee menyajikan penggambaran yang apik dari kisah cinta realistis antara Re, Rana, dan Arwin, sekalipun sandingannya adalah cerita fantasi dari dongeng masa kecil. Saya sempat terkecoh dengan komentar Reuben mengenai tokoh Putri yang melamunkan sejarah kisah hidupnya–karena hal yang sama benar-benar dialami pula oleh Rana. Lalu, bagaimana dengan dongeng yang disebut tadi? Re benar-benar memiliki jiwa pujangga, tepat seperti si Kesatria!
Kenapa saya sebut cerita ini menarik? Dee dengan cerdasnya memberi porsi yang pas antara Dimas-Reuben dan “cerita satunya”.
Cyber Avatar
Kehadiran nama Supernova sejak pertengahan buku mulanya membuat saya sedikit bingung. Barulah di bab 18 secara gamblang disebutkan bahwa Dimas dan Reuben memikirkan seorang tokoh Avatar dengan asktetika modern. Dengan konsep awal sebagai Avatar yang membalas pertanyaan secara online, lagi-lagi saya teringat novel karya Meg Cabot (“Teen Idol”). Di sana, diceritakan bahwa si tokoh utama diam-diam berperan sebagai Annie dalam rubrik “Ask Annie” di majalah sekolah, yang bertugas menjawab semua curhatan yang masuk ke redaksi.
Supernova, secara awam, mungkin terlihat seperti Annie, tapi jelas betul “level”-nya jauh berbeda.
Dengan menyinggung teori rectoverso, Supernova menawarkan kepada pembacanya untuk mampu melihat masalah dari perspektif berbeda. Dengan cara ini, Dee menunjukkan pula bahwa tokoh Supernova telah sesuai dengan harapan Dimas dan Reuben, yaitu ia yang mencapai aktualisasi diri, sebagaimana dijabarkan dalam teori Maslow (halaman 67).
Tanda Tanya
Kesatria yang seperti Re, Putri yang serupa Rana, dan Bintang Jatuh yang berarti Diva. Penjelasan inilah yang paling singkat dan sederhana dari KPBJ. Pola tulisan Dee berloncat-loncat, dari Re, Rana, hingga Diva, dengan diselingi percakapan Dimas dan Reuben. Nah! Percakapan inilah yang rasanya cukup menimbulkan “tanda tanya”.
Konsep yang diusung dalam novel ini adalah sastra yang dibumbui sains (atau sebaliknya?). Sastra diwakilkan oleh Dimas, sementara Reuben berada di sisi lainnya. Tapi sayangnya, semua teori yang cemerlang ini tak cuma satu atau dua kali terasa sebagai “hiasan” dalam buku. Pembaca tetap bisa melompati beberapa baris panjang (I did, beberapa kali) untuk mengerti ceritanya nyaris tanpa cela.
Sekalipun begitu, bukankah ketekunan Dee menggabungkan “rasa” ilmiah pada karya sastra memang patut diacungi jempol?
Dee, Ini Menarik, Tapi…
Seorang penulis tak mungkin bisa selalu memuaskan seluruh pembaca–bahkan penggemar besarnya. Dee adalah bukti dari itu. Tapi saya rasa kita semua bisa sepakat pada kepiawaiannya merangkai kata.
Lalu, penokohannya? Overall, saya menikmatinya. Memang, ada hal-hal yang belum bisa saya “dapatkan” dari tokoh Diva. Disebutkan, Diva memiliki selera humor sadis dan cerdas. Tapi dalam beberapa scene, saya merasa Diva hanyalah sang peragawati yang kelewat “mahal”, “dingin”, dan kadang “abstrak”. Bagian favorit saya yang terasa nyata menunjukkan karakter Diva adalah saat ia memberi pengumuman juara di perlombaan fashion anak-anak.
Karakter Re dan Rana, sementara itu, bisa saya ikuti sekalipun terasa “terlalu mulus”–seakan-akan Dee “memaksakannya” pada Dimas dan Reuben (tapi, bagi saya, ini juga menjadi cara jenius Dee untuk membangun cerita). Tapi, yang perlu disadari, Dee telah mengambil risiko besar dengan mengangkat tokoh Dimas dan Reuben yang disebut sebagai gay, sekaligus Re dan Rana yang “berselingkuh”.
Keberanian ini, walaupun tidak melulu menarik simpati, nyatanya berhasil menjadi cerita yang menawan dengan kemahiran Dee mengolah kata-kata.
Saya masih tidak mengerti kenapa saya tidak buru-buru membaca buku ini sejak awal.
Sebagai akhir dari review, saya rasa tak ada salahnya menulis pandangan singkat saya pada KPBJ.
Saya penggemar manga Detective Conan. Sepakat dengan pendapat salah satu korban pembunuhan (sebelum tewas) di salah satu kasus dalam manga tersebut, saya merasa bahwa seorang penulis harus mengetahui banyak ilmu pengetahuan untuk membangun cerita yang bagus. Nah, bicara soal cerita, orang-orang terdekat saya pun tahu bahwa saya tertarik pada dunia fantasi-fiksi, mulai dari kisah Wizard of Oz sampai novel-novel cinta yang bisa saya jangkau dari rak buku kakak.
Lalu, hadirlah buku ini.
Sastra. Sains. Fantasi. Romansa. Abstrak. Ah, lengkap sudah.
Bagi saya, Dee Lestari dan “Supernova: KPBJ” ini seolah menjadi wujud nyata dari apa yang saya nantikan sejak dulu.
Benar, deh.
In short, I love this book!
Menikmati tulisan Dee,
Aprilia
bagaimana review novel ini?
LikeLike