Saya pernah bertanya-tanya, bagaimana sebuah keluarga kerajaan dapat tinggal di menara tinggi dan kastil tua?
Ada beberapa dongeng putri dan pangeran yang latar belakangnya bangunan kuno tempat raja dan ratu memerintah. Selusinan pengawal menyambut di pintu utama, ditambah banyak pelayan-pelayan berseragam yang melayani tuan dan nona tertinggi.
Saya pernah bertanya-tanya, bagaimana menara-menara dan kastil ini dimulai?
Apakah seseorang mendirikannya untuk sang Raja terlebih dulu, atau dia yang bersusah payah sendiri demi tempat berteduh yang hangat? Apakah ia sejak awal dinobatkan jadi Yang Terhormat, atau mula-mula hanya seorang petani?
Saya pernah (seringkali) beranda-andai atas sebuah cerita, di dunia yang mungkin sekedipan mata terasa lama sekali.
Saya sering menyusun skenario sendiri.
Mungkin suatu hari di suatu tempat sedang pagi. Laki-laki yang selama separuh hidupnya memanggul hasil panen sampai berkeringat dan kelelahan, berubah bahagia sebagai saudagar. Tanahnya begitu luas, mungkin bekas banyak jenis sapi dan unta, serta berhektar-hektar lahan pertanian yang cukup untuk sebuah kota kecil.
Kota kecil yang kemudian makmur ini mungkin bernama Hergia–bisa saja kependekan dari Hergia Franova atau hanya Hergia saja. Mungkin di sana ada legenda mengenai seseorang yang bernama Hergiavalovic, yang berasal dari tanah yang sekarang disebut Rusia, yang di zaman dulu mati-matian mempertahankan area ini.
Kota Hergia yang sedikit terisolasi tahu-tahu meroket berkat bersak-sak beras terbaik dari seseorang dengan rambut hitam lebat–si tokoh utama kita yang baru saja menjadi saudagar. Sebagai bentuk apresiasi terhadap dirinya sendiri, Tuan Gioramon (nama si saudagara baru ini), memutuskan mengganti lumbung tempatnya tidur dengan sebuah rumah bergaya menara.

Mungkin karena kepemilikannya yang melimpah atas tanah dan hasil kebun, puluhan warga yang kelak menjadi ratusan di Hergia tahu-tahu menganggap Tuan Gioramon sebagai pemimpin. Rapat warga untuk menentukan ketua kelompok kerja bakti lingkungan saja menjadi acara yang dirasa perlu bagi mereka untuk mendengar sambutan si Saudagar Baik Hati ini. Entah sudah berapa banyak perut yang gagal kelaparan karena makanan yang dibagikan gratis setiap hari pukul 4 sore olehnya.
Semua orang tiba-tiba jatuh hati pada sosok Gioramon. Cinta yang bertambah dengan menyenangkannya ini mungkin saja menjadi pendorong keputusan Tuan Gioramon untuk menambah menaranya sendiri di kanan kiri. Sebagian alasannya mungkin untuk menampung hasil panen, sementara separuh lagi untuk berjaga-jaga atas keselamatannya yang sudah resmi menjadi pemimpin.

Kota Hergia berkembang lebih cepat daripada hasil panen.
Mungkin, kota itu sudah bukan lagi kota. Bisa saja penduduknya bertambah dengan segera, lalu menjadikan kota ini sebagai kerajaan tersendiri. Beberapa warga serta merta mengajukan diri sebagai pengawal. Senjata-senjata canggih dibuat di setiap sudut, di mana para pengrajinnya berharap akan menghasilkan kekuatan paling dahsyat untuk melindungi Yang Mulia Gioramon. Ya, si Saudagar menjadi yang terhormat. Penjahit-penjahit bahkan berlomba mengirimkan pakaian mewah untuk setiap acara kenegaraan.
Kecintaan yang melimpah ruah pada Yang Mulia.
Pada titik ini, semuanya terasa padu dan harmonis. Bukankah itu yang diinginkan setiap negara: warga yang makmur, dan pemimpin yang bijak dan dermawan?
Saya seringkali bertanya-tanya, apakah akhir yang baik selalu baik?
Banyak dongeng kerajaan berakhir happily ever after, padahal mungkin ada jiwa-jiwa yang menangis; mungkin pengawal kerajaan yang terbunuh, warga yang menangis karena upeti, pengrajin sepatu yang disiksa. Apapun!
Lalu, saya juga bertanya: bagaimana akhirnya saya harus mengisahkan Tuan Gioramon yang telah menjadi Yang Mulia Gioramon?
Lima menit yang lalu, hal ini bukan masalah untuk saya. Tapi, tangan saya yang menyebalkan ini tahu-tahu menuntut kepala saya untuk membuat kisah abstrak soal Hergia. Mungkin saja sekarang Gioramon sedang duduk di atas menara dan menunggu peran selanjutnya, bukan?
Jadi, sering pula, saya melanjutkan skenario yang saya buat sendiri.
Dengan kekayaan dan ke-mahadaya-annya, Yang Mulia Gioramon mulai merasa tidak aman. Tidak ada lagi pembagian makanan gratis karena sang Raja memutuskan untuk menikah dan mengundang ribuan warga, bahkan perwakilan dari puluhan kota dan negara lainnya sekaligus. Perut-perut rakyatnya kembali kosong. Sayangnya, beberapa dari mereka terlalu malas untuk bekerja. Terbongkarlah cinta rakyatnya yang ternyata diselimuti harapan hidup gratis selamanya.
Serombongan–atau mungkin banyak rombongan–penjarah mulai nekat masuk ke halaman kastil, menarik ilalang dan mencabut paksa buah apel yang bergantungan. Pengawal kadang-kadang dilumpuhkan, tapi kadang pula berhasil bertahan. Demi keamanan dirinya dan istri yang baru saja diberinya mahkota, Yang Mulia Gioramon mungkin saja langsung berlari ke ruang kerjanya, menyusun keputusan.
Kastilnya harus diberi tembok pertahanan.

Tebalnya bermeter-meter, tembok itu. Sejenak, Yang Mulia Gioramon mengelus dada, mengetahui tak satupun orang tak diundang yang datang dengan belati. Pengawalnya sudah pulih–mereka kembali berjaga demi potongan pajak sebagai gaji mereka.
Mungkin, saya bisa mengakhiri ceritanya di sini, dengan kebahagiaan Gioramon dan istrinya yang nyaman di balik dinding. Toh, bukan berarti mereka berubah kejam dan jahat pada warganya–mereka tetap dermawan, hanya saja porsinya sedikit berkurang. Mengurus negara ternyata cukup menghabiskan anggaran, begitu keluh Yang Mulia Gioramon suatu hari. Tentu saja, rakyatnya tidak tahu. Sebagian dari mereka hanya butuh nasi gratis–itu saja.
Tapi, seringkali, saya nekat meneruskan skenario saya.
Mungkin rakyatnya ada yang benar-benar kelaparan dan terprovokasi. Tahu-tahu, ada sepasukan besar yang tersulut api emosi, meminta Yang Mulia Gioramon turun tahta. Pengawal yang sedang mempersiapkan kereta kencana untuk sang Raja di pintu gerbang langsung jatuh tersungkur dalam sekali tebas.
Menara dan kastil yang dulu menjadi mimpi besar seorang petani bernama Gioramon terancam hancur dalam sedetik.

Saya pernah bertanya-tanya, bagaimana sebuah keluarga kerajaan dapat tinggal di menara tinggi dan kastil tua?
Mungkin, di Hergia, Tuan Gioramon menjadi cikal bakal keluarga kerajaan. Kalau saya tidak terlalu egois dan menghancurkan kastilnya, kisahnya pasti lebih panjang. Bisa saja, Tuan Gioramon alias Yang Mulia Gioramon ini memiliki putri yang cantik dan rambutnya berwarna emas, yang kemudian jatuh hati pada pemburu dari negeri seberang.
Bukankah kisah-kisah manis seperti itu yang selalu laris di pasaran?
Lagi super selo sebelum pulang kantor,
Aprilia
apa saja tempat yang menarik?
LikeLike