Sejak bekerja di kantor penerbitan buku, saya jadi “ngeh” betapa sebuah buku yang akan diterbitkan perlu melalui berbagai pertimbangan “serius” untuk memiliki judul tertentu. Karena basic saya adalah cerpen dan posting-an blog (itu pun ditulis personal), perkara memilih judul ini jadi semacam “cuma judul” di kepala saya.
Ternyata, itu nggak sekedar “cuma judul”.
Awal Mula
Di awal-awal saya dikasih status sebagai editor, kerjaan saya adalah baca ulang buku-buku lama kantor untuk direvisi. Lama-lama, ada projek buku baru yang harus benar-benar diedit dari nol–termasuk sebuah buku yang dirintis sejak sekitar Desember 2016 ini.

Saya bahkan masih ingat susunan meja kala itu. Plus, suasana hati saya.
Dari Buku
Buku, bagi sebagian orang, hanya kumpulan kertas yang diikat jadi satu.
Di balik halaman-halaman yang dibaca banyak mata, beberapa orang menggantungkan hidupnya kencang-kencang. Tapi hari itu, saat saya membaca draft kasar Take Down UK, yang ada di kepala saya bukan sekedar biaya kos yang harus dibayar setiap tanggal 20: saya berpikir betapa tempat ini mengajarkan saya untuk bisa bermanfaat untuk orang lain.
Take Down UK yang naskah awalnya dimulai dari barisan judul bab tanpa isi ini ditulis bukan tanpa maksud. Teman saya ada yang begitu ingin kuliah di UK, sampai rela ikut ke banyak pameran dan seminar. Saya–yang jatuh hati setengah mati pada serial Harry Potter–juga ingin pergi ke UK tapi tidak dengan kadar setinggi teman saya. Dari hal sedekat ini saja saya tahu: Take Down UK ditulis karena memang ada yang membutuhkannya, seperti teman saya tadi.
Hari itu, ketika saya mengira yang saya lakukan adalah rutinitas biasa (baca-edit-baca-edit), saya belajar memahami bahwa apa yang ada di depan mata saya adalah tulisan yang paling dekat membawa mimpi sebagian orang menjadi nyata.
Jalan Terus
Sebelum Take Down UK benar-benar terbit, saya dan teman-teman di sini menempuh banyak produk dan–tentu saja–masalah. Kami pernah lembur, pernah pula menikmati banyak waktu luang. Saya yakin, pernah ada juga yang diam-diam pulang larut malam dari kantor, lalu berpura-pura tidak mengantuk ketika orang rumah menelepon pagi hari.
Penulis menulis. Video mulai diedit. Tulisan dirapikan. Ebook mulai dibuat. Layouter diberi naskah berkali-kali untuk masuk Indesign.
Banyak orang turut fokus demi mimpi yang baru ini. Ruangan kami masih di bawah tangga saat mereka bicara soal cover. Berkali-kali menggelengkan kepala karena warna yang masih sepi, isi yang kurang memuaskan, cerita dari penulis yang belum kunjung masuk ke inbox email, dan banyak lainnya. Pengorbanan masing-masing dari kami selalu terasa lebih kecil dibandingkan teman lainnya, yang menunjukkan bahwa semua orang di sini benar-benar berharap hasil yang terbaik.
Jadi, ketika saya hampir menekan tombol “Save” selepas mengedit 1 bendel buku-Take-Down-UK-siap-layout ini, saya mengamini semua doa-doa itu.
Naskah yang di depan saya adalah bulir keringat dari puluhan orang di penjuru kantor.
Nama dan Harapan
Sejak bekerja di kantor penerbitan buku, saya jadi “ngeh” betapa sebuah buku yang akan diterbitkan perlu melalui berbagai pertimbangan “serius” untuk memiliki judul tertentu. Karena basic saya adalah cerpen dan posting-an blog (itu pun ditulis personal), perkara memilih judul ini jadi semacam “cuma judul” di kepala saya.
Ternyata, itu nggak sekedar “cuma judul”.
Tak luput juga: anak kami yang lahir Mei lalu ini. Take Down UK diberi nama begitu saja, terlepas dari list judul yang sampai puluhan banyaknya. Memang bukan Take Down the UK yang lebih patuh pada aturan nama. Nyatanya, begini saja sudah menggambarkan asa mereka yang melihat.
Take down.
Makna ungkapan ini mungkin tergolong bias karena mengarah ke negatif, termasuk penghapusan, penurunan, dan lain-lain. Tapi bagi saya, makna take down satu lagi dalam kamus adalah yang terdekat pada tujuan kami:
…to write something that you are looking at or listening to.
We do not ask the readers to literally write about the UK… but they need to write their dreams-of-going-to-the-UK-to-study right inside their heart.
Doa yang Diucapkan dari yang Terbungkus Plastik
Tumpukan itu ditaruh di tengah, setelah sebelumnya diberi tepukan meriah setelah berdoa. Sampai nanti tiba di buku terakhir yang terjual, segala harapan baik dari pembacanya pun tetap menjadi cambuk paling besar bagi mata dan telinga kami.
Take Down the Take Down UK?
Kalau kata banyak orang, action selalu jadi langkah paling penting. Lewat kantor penerbitan yang saya tempati sekarang, saya mulai bisa mengerti: ketidakmampuan kita tidak akan membatasi keinginan kita untuk bermanfaat bagi orang lain.
Di sisi lain, saya tahu: orang-orang di kantor ini tetap ingin men-take-down tumpukan buku ini sembari memastikan masing-masing copy-nya sampai di tangan yang tepat.
Semoga, ya.
Yogyakarta, editor dari balik monitor laptop yang mulai ngadat,
..dan masih jatuh hati setengah mati sama Harry Potter.
Aprilia
Huhuhu baca tulisanmu, aku jadi kembali merasa bersalah udah pernah beli buku non-original 😦
Ga lagi-lagi, cukup kemarin yang terakhir.
LikeLike
Eh Mba Intan! Makasih dah mampir hahaha. Waaa.. iya mba, ayo beli buku original, prosesnya seru, sayang kalau ga diapresiasi hehe 😀
LikeLike
Iya bener. Aku menyesal. Hiks. Padahal dulu pernah nerbitin buku juga, bareng-bareng sama temen yang lain.
LikeLike