Saya bukan ahli bahasa tapi saya suka dengan pembahasan mengenai bahasa. Meskipun di bangku perkuliahan saya hanya mempelajari bahasa Inggris. Tapi tentu saja saya juga tertarik dengan bahasa Indonesia.
Paragraf di atas adalah sepersekian contoh kumpulan kalimat yang hampir tiap hari harus saya lahap. Sebagian dari kamu mungkin hanya memandang kalimat-kalimat tadi sebagai pernyataan yang bisa ditanggapi dengan, “Setuju!” atau “Tidak setuju!”, tapi–bagi saya–kalimat tadi adalah sesuatu yang mengganjal.
Tidak ada tanda koma yang semestinya dipakai untuk memisahkan anak kalimat dan induk kalimat.
Persetan dengan struktur kalimat, kata sebagian orang. Peduli apa, sih, para pemeriksa? Toh, pembaca hanya akan membaca. Toh, yang terpenting adalah kemasan yang menarik dan waktu yang secepat kilat.
Seandainya saja saya bisa berpikir demikian.
Kalimat adalah kumpulan kata, sedangkan kehidupan adalah kumpulan ceritamu yang disimpan dalam waktumu sendiri.
Sambil menjadi tukang baca yang duduk di sudut antara triplek dan bata, saya rasa “kalimat” punya banyak kesamaan dengan bagaimana hidup kita berjalan.
Bedanya, hidupmu tidak bisa kamu edit seenaknya.
Tanda baca–titik, koma, titik koma, titik dua, tanda seru, tanda tanya, dan lain sebagainya–adalah bagaimana kamu harus bersikap. Kalau sudah menjadi racun yang berbahaya, kamu bisa memberi tanda titik pada suatu hal dan mulai meletakkan huruf kapital baru di momen lain. Kalau kamu tidak mengerti dan merasa buntu, apa salahnya menempatkan sebuah tanda tanya?
Tanda koma, sementara itu, sering jadi pertimbangan paling besar di kepala saya. Bagaimana kalimat itu berjeda, memberikan napas pada pembacanya untuk mencerna informasi dalam kalimat: tidakkah itu penting? Tanda koma seperti titik, tapi dengan ekor yang berlebihan. Tanda koma tidak menghentikanmu, tapi ia juga tidak lantas menyuruhmu terus berjalan saja.
Kalau dipikir-pikir, tidakkah tanda koma seperti bangku yang bisa kamu pakai untuk merenung?
Saya bukan ahli bahasa, tapi saya suka dengan pembahasan mengenai bahasa. Meskipun di bangku perkuliahan hanya mempelajari bahasa Inggris, tentu saja saya juga tertarik dengan bahasa Indonesia.
Bandingkan dulu dengan yang pertama: versi yang kedua ini sudah diberi tanda koma.
Berbeda, walau tujuannya sama. Menariknya, tanda koma membuatmu lebih memahami apa yang sebenarnya ingin disampaikan si kalimat.
Tapi, ah, bodohnya saya kalau berharap bahwa hidup dengan mudahnya setara dengan kalimat!
Maksud saya… apa peduli saya pada apa yang akan kamu lakukan dengan tanda koma dalam hidupmu sendiri? Keputusanmu untuk berjalan tergesa-gesa adalah sepenuhnya hakmu karena kamu memegang setumpuk “tanda baca” di kepalamu. Pun begitu dengan saya: menjadi keleluasaan saya-lah untuk tidak meletakkan tanda titik ataupun tanda koma di sudut manapun yang tidak saya mau. Bukan begitu?
Tapi ternyata, ada satu hal yang saya lupa.
Kamu akan selalu diizinkan melihat PUEBI untuk mengetahui penggunaan tanda baca dan huruf kapital yang tepat saat mengedit kalimat.
Yang berarti bahwa…
…kamu akan selalu diizinkan untuk meminta bantuan dan saran dari orang-orang di sekitarmu.
Ya, kamu tidak sendirian.
Yogyakarta,
Aprilia.