Berjalan diam-diam di balik ilalang, perwira-perwira itu. Panglimanya berkata mereka harus bergerak cepat sampai kaki menjadi sakit. Rasanya memang haus, tapi sepertinya itu bukan prioritas. Toh ternyata, berjalan sambil menjaga satu sama lain adalah hal yang paling menyenangkan hati.
Bertarung keras-keras, perwira-perwira itu. Panglimanya berkata mereka harus mengangkat senjata tinggi-tinggi sampai mengalahkan ilalang yang paling panjang. Tidak masalah, jawab mereka. Kepercayaan mereka pada panglima tertinggilah yang menjulurkan tangan masing-masing dengan mantap.
Aku masih melihatnya, gerombolan itu. Bahkan ketika aku sudah menyaru dengan udara, perwira-perwira itu masih gigih dan menonjol, meski tidak diberi tempat utama. Derap langkah kaki dan lumpur yang kotor lalu menempel asal-asalan pada pakaian mereka seolah menjadi bukti betapa tawa mereka pun harus menempuh sakit hati bertubi-tubi terlebih dahulu.
Tidak ada yang mudah dalam berjalan kaki, sama seperti tidak ada jaminan kamu selamat meskipun memakai mobil ataupun tank .
Yang terpenting dalam sebuah perjalanan bukanlah “kita harus sampai ke sana dengan kejayaan penuh”, tapi bagaimana kita memastikan semua orang sama-sama bertujuan satu dan mengayuh pedal dengan serempak.
Tidak ada yang mudah dalam berbicara, kecuali kamu tahu caranya mendengar.
Yang terpenting dalam sebuah diskusi bukanlah “keputusan yang blablabla haruslah diambil”, tapi bagaimana semua orang punya kesempatan yang sama dan tidak diintervensi ego siapapun.
Begitulah, kira-kira, kalau kamu mau sedikit berkontemplasi.
Perwira-perwira yang masih bergerilya, bahkan setelah panglimanya pergi, adalah pemandangan indah tidak terkira. Setiap kali aku selesai terbang dari banyak tempat, kembalilah aku di tengah-tengah pundak perwira.
Ya, bahkan aku, yang hanya menjadi udara hampa, selalu bisa pulang pada perwira yang (tidak) kalah berperang.
Aprilia Writes 