Anak-Anak Orang Berada yang Selalu “Dituduh” Hidup Enak

Pagi ini saya membaca sebuah tulisan pendek yang muncul di linimasa:

“Saya tidak lahir dari keluarga berada yang selalu meluluskan apa mau saya. Maka dari itu, saya terbiasa untuk berusaha dan melakukan sesuatu untuk sukses dengan cara sendiri, bukan dari topangan orang tua.”

Saya terdiam, mencoba merenunginya.

Tulisan dengan tipe ini tergolong sering saya temukan, khususnya ketika usia saya mulai masuk di atas 21. Saya kira, pada usia ini, secara alami pun orang-orang merasa sudah waktunya untuk bergerak lebih kuat untuk menyelesaikan apa yang harus ia selesaikan, baik berupa tugas kuliah, skripsi, bekerja mengejar target, melamar kekasih, dan lain sebagainya.

Tapi, dari rentang usia kuliah hingga bekerja, tulisan di paragraf pertama ini tetap saja muncul. Katanya,

“Untung saya bukan dari keluarga kaya yang manja dan minta apa-apa langsung diberi,”

atau,

“Untung saya terbiasa menabung untuk mendapat apa yang saya mau, tidak selalu merepotkan orang tua,”

atau,

“Saya telah berusaha keras sendiri dari nol, tidak seperti anak-anak dari keluarga berada yang selalu dibantu orang tuanya yang berduit.”

Sebenarnya, apa motif tulisan itu? Apakah kesuksesan anak-anak yang lahir dari keluarga berada/berkecukupan itu tidak ada artinya karena tidak dikejar dengan kaki dan tangan sendiri?

Saya pun tidak lahir dari keluarga kaya raya. Ada kalanya ibu saya menolak mentah-mentah ketika saya minta makan daging ayam atau membeli mainan Barbie dan satu set rumahnya. Bapak saya tak juga mengangguk ketika saya menangis-nangis minta dibelikan sepatu roda atau tamiya seri terbaru. Hidup terasa berat!

Tapi, ada masanya pula kehidupan sedikit membaik. Kami tak melulu makan telur yang didadar lalu dipotong empat/lima sama rata. Saya juga tak selalu memakai baju bekas kakak. Ada permintaan-permintaan yang dituruti dengan senyum, lengkap dengan nasihat dan saran dari bapak dan ibu untuk bersikap bijak sebagai syaratnya.

Saya kira kehidupan ini sudah cukup melegakan, sampai suatu hari teman saya keheranan kenapa saya repot-repot mencoba ikut mendaftar beasiswa kuliah. “Bapakmu kan kerja di BUMN? Ibumu kan PNS?

Padahal, setahu saya, syarat beasiswa ini hanyalah nilai yang cukup.

Pertanyaannya sepele tapi cukup membekas bagi saya, sampai-sampai saya memutuskan tidak melanjutkan proses pendaftaran. Saya masih berteman dengan teman tadi, lalu kami bersama-sama melanjutkan dunia perkuliahan.

Suatu hari teman saya bersedih, kemudian saya ingat ia suka sekali fast food di salah satu mall dekat kos kami. Sontak, saya mengajaknya pergi ke sana, dengan harapan ia berubah ceria. Sedikit sinis, jawabnya, “Nggak ah, ini kan tanggal tua. Kamu sih enak, punya uang. Aku kan nggak.”

Suatu masa, tas saya berlubang kecil. Tas ini bagus sekali, meski cuma bekas kakak saya. Warnanya biru, sudah kucel, tapi itulah yang membuat saya cinta setengah mati. Sungguh, tas ini masih tampak menarik dan bisa dipakai dengan baik. Karena itu, ketika ada lubang yang muncul, saya memutuskan untuk memasanginya peniti. Teman saya terkekeh, lalu bilang, “Ngapain, sih, tas jelek dipakai, kayak orang jelata aja kamu. Beli yang baru, kek, minta bapakmu!

Bertahun-tahun kemudian, seorang teman menikah. Saya dan beberapa teman lain sama-sama iuran untuk membeli kado pernikahan. Karena pada pernikahan teman kami sebelumnya kami memberi kado berupa seprai, saya pun mengusulkan barang yang sama sebagai kado. Toh, kami membelinya bersama-sama, jadi terasa lebih ringan.

Lalu, bagaimana jawaban teman tadi?

“Kamu tuh kalau ngusulin apa aja, sih, enak, bayarnya juga enak. Kamu, kan, punya uang. Kita nih nggak.

Saya diam lagi. Bukankah seprai merupakan kado yang dulu juga selalu ia usulkan untuk diberikan bersama-sama, dengan jumlah iuran yang sama? Kenapa sekarang jadi masalah hanya karena saya yang mengusulkan?

Saya bekerja di Jogja selepas lulus kuliah di akhir 2015. Di bulan April 2016, mulailah saya menjadi editor buku di sebuah penerbitan.

Tapi pernah, sesekali, teman saya datang hanya untuk mendadak bertanya, “Buat apa, sih, kamu kerja? Kan bisa minta uang bapak sama ibumu,” atau, “Daripada kamu kerja kayak gitu cuma dapet UMR, mendingan kamu minta bapakmu buat masukin kamu ke kantornya biar gajinya besar!”

Saya cuma tertawa menanggapinya. Ya mau gimana lagi? Lucu, kan?

Sekali lagi, saya tidak lahir dari keluarga kaya raya, tapi saya mulai bisa membayangkan tanggapan dan komentar macam apa yang kerap diterima mereka-mereka yang memang turunan pengusaha dengan omzet miliaran serta kehidupan supernyaman. Hmm.

Yang tidak semua orang pahami sebenarnya adalah: people change. Kalaupun ada orang yang awalnya manja, sangat mungkin ia berubah menjadi pejuang di masa sesudahnya. Atau, setidaknya, setiap orang juga pasti ingin berusaha dengan caranya sendiri. Titik.

Lagi pula, sudah benarkah seluruh stigma yang dialamatkan pada orang yang lahir dari keluarga yang berkecukupan, berada, atau bahkan kaya raya itu? Benarkah mereka hanyalah seonggok anak manja yang minta uang dan merengek demi sesuatu, alih-alih hanya anggapan yang berkembang seenaknya?

Pun, lahir dari keluarga yang berada bukanlah suatu hal memalukan, apalagi menjijikkan. Dipenuhi keinginannya oleh orang tua juga bukan hal yang membuat mereka berlumur dosa, sedangkan kita yang tidak meminta pasti bersih dari dosa. Kesuksesan juga bukan semata dari materi yang kita dapat, tapi doa yang dipanjatkan orang tua siang dan malam.

Hidup dari topangan orang tua? Ya kita semua ini yang begitu, bukan cuma anak-anak orang kaya. KAMU JUGA.

Advertisement

3 Comments

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s