1 Januari 2018.
Datang ke Jalan Kaliurang, motor Beat mengantar saya sampai ke kilometer 13—bahkan lebih—lalu berbelok mengikuti jalur yang diteriakkan Google Maps. Rasanya berdebar sekali karena datang sendiri. Hari pertama, pula: hari di mana saya bersiap menjadi redaktur di Mojok.co (selanjutnya akan saya tulis sebagai Mojok).
Hari itu, tanggal di kalender masih merah. Tapi sejak kemarin, seseorang mengingatkan saya untuk datang tepat waktu dan bertemu Pemred di sana.
Pintu dibuka. Lelaki 30-an tahun bertanya, “Mau cari siapa, Dek?”
Saya menoleh. Mas Puthut. Iya, Puthut EA.
Alih-alih kegirangan bertemu penulis buku Cinta Tak Pernah Tepat Waktu beneran, satu hal yang saya rasa cukup kuat menampar adalah fakta bahwa seseorang memanggil saya “Dek”. Bukannya kegirangan dianggap muda, tapi keadaan ini jelas berbeda dengan kantor lama saya: semua orang disapa dengan “Mbak” dan “Mas”, tanpa terkecuali.
Sejak hari itu, saya sadar bahwa saya benar-benar sudah berada di lingkungan baru yang berbeda.
“Yang bikin salut adalah kamu memutuskan pindah demi keseriusan itu.”
Kalimatnya masih jelas—yang bicara adalah senior di kantor lama yang saya hormati. Alasan saya melepas nama ‘editor’ di tempat yang lama, lalu pindah ke Mojok, agaknya sudah menyebar, entah bagaimana ceritanya.
Saya, tak berpikiran buruk apa pun, menjawab dengan emoji senyum yang lucu sekali.
Lalu, tentu saja, meminta doa.

Februari – Maret 2018.
Surat kontrak percobaan masih jelas di ingatan saya. Bertanya-tanya, saya sedikit khawatir apakah saya akan menjalaninya dengan baik.
Menulis. Saya pernah mencintai menulis dengan sedikit berlebihan—sewaktu SD. Menulis cerpen setiap hari, saya rasa. Tapi lihat; saya yang berusia 25 tahun bahkan butuh meditasi cukup lama untuk tulisan 700 kata setiap Rabu dan Jumat!
Bulan-bulan percobaan adalah curahan air mata yang paling deras. Ada rindu yang keras sekali di sana pada belasan manusia yang selama hampir 2 tahun sebelumnya selalu saya temui di rapat pagi rutin di kantor.
Bulan-bulan percobaan adalah keringat yang cukup apek. Saya menikmatinya—jangan salah sangka. Tapi saya membagi hati, dengan sangat jelas, demi tetap ikut bertarung bersama keluarga saya yang lain dan berjarak 7 lampu merah dari Mojok.
Bulan-bulan percobaan adalah sakit kepala yang penuh ngilu. Kenapa menulis terasa susah, dengan ketakutan bahwa saya akan merusak semua angka traffic yang mereka harapkan? Kenapa saya tak pernah bisa bicara dan memilih untuk takut?
Bulan-bulan percobaan adalah bimbang; untuk tetap ada atau lari ke arah yang lain.
“Yang bikin salut adalah kamu memutuskan pindah demi keseriusan itu.”
Kalimat ini terngiang mati-matian. Secara ajaib, saya tak ingin merasa lelah lagi.
Tapi, masa-masa awal percobaan di Mojok adalah keterkejutan, kemunculan rasa tertarik pertama kali.
Coba tebak: di sini, semua orang ikut bernyanyi lagu How Deep is Your Love-nya Bee Gees, bukan lagu berjudul sama milik Calvin Harris. Padahal, di tempat sebelum Mojok, saya bahkan harus meniru Bee Gees bernyanyi hanya demi meyakinkan orang-orang bahwa ada lagu-lagu lama yang benar-benar bagus.
Daftar lagu selanjutnya tak kalah mengejutkan diputar; sebut saja lagu-lagu yang akan membuatmu otomatis berdendang, atau minimal bergumam, karena ayahmu selalu bernyanyi di hari libur.
Singkatnya, lagu-lagu jadul. My precious!
Oh, dan jangan lupakan pesan-pesan pendek, berbunyi: “Kamu ada tebakan?” yang di awal sempat saya dapat demi pemenuhan konten. Seseorang dari luar Mojok tak sengaja ikut membaca pesan itu, lalu berkata,
“Whoa, teka-tekimu yang garing dan menyebalkan itu ada gunanya juga.”

April 2018.
Dua puluh enam tahun—ulang tahun pertama yang disambut bersamaan dengan jadwal menulis naskah regular di Mojok. Ulang tahun pertama tanpa tepuk tangan riuh yang dulu selalu saya lakukan bersama teman-teman di kantor lama.
Ulang tahun pertama dengan ucapan menyenangkan dari kru Mojok via WhatsApp.
Sayangnya, ulang tahun ini juga menjadi ulang tahun pertama yang malah dideru air mata. Bukan, bukan karena Mojok. Malah, sepulangnya saya dari kantor Mojok untuk menuju ‘kantor yang satunya’, saya sedang tersenyum lebar sekali.
Harusnya, saya belajar banyak malam itu; ada hal-hal yang tak pernah kita inginkan terjadi, tapi justru terjadi karena memang begitulah takdir berjalan.
Harusnya, saya tahu.
Ulang tahun pertama ini adalah ulang tahun yang paling ingin saya lupakan.

Mei – Juli 2018.
Belumkah saya berkisah soal Mojok lebih banyak?
Warna dindingnya putih, tapi beraksen merah muda dan hijau yang dibentuk dengan menarik. Bahkan hingga bulan Mei, masih banyak saja teman yang mengirim pesan: “How lucky you are to be there.”
Sayang, saya masih memakai kacamata tebal yang tidak terlihat.
Oh, tidak—Mojok tidak menyebalkan. Hanya saja, saya perlu waktu lebih lama dari orang lain untuk sekadar membalas jokes yang supergaring, yang sebenarnya sering pula saya lontarkan di luar sana.
Juga, Mojok tidak jahat. Hanya saja, saya perlu waktu lebih lama untuk memasukkannya dengan hati-hati ke kompartemen yang paling dalam di pikiran saya.
Ada banyak orang di sini: redaktur, ilustrator, manajer keuangan, videografer, sekred, admin, webmaster; semuanya. Pun, semua orang ini tertawa bahagia saat kami memutuskan pergi ke pantai bersama-sama sambil rapat lagi—yha.
Mojok tetap menjadi Mojok, lalu saya tetap menjadi saya.

Motor Beat berganti dengan Vario, dan saya tak perlu menempuh jarak Gamping-Jakal lagi setiap hari. Saya mulai bisa terbiasa tidak mendengar lagu-lagu berisik yang dulu diputar bergilir di sebelah Ruang Produksi di kantor lama. Saya mulai bisa terbiasa tidak mengajukan tangan untuk meneriakkan yel-yel semacam “Kamis laris!”. Saya mulai bisa terbiasa ikut membagikan link tulisan di Mojok.
Kadang-kadang rasanya bahagia, tapi tahu-tahu berubah jadi perasaan tidak enak yang cukup besar. Kenapa tulisan-tulisan saya remeh dan jelek sekali? Kamu bahkan bisa menganalogikannya dengan perbandingan Nobita dan Giant dalam hal kekuatan fisik—saya Nobita-nya.
“Kenapa kamu diam?” tanya salah seorang dari mereka sambil terkekeh. Dia baru saja mendengar saya bernyanyi pelan-pelan saat lagu kesukaan saya diputar. Begitu ketahuan, saya berusaha diam sekeras mungkin.
Jawab saya, “Nunggu dua caturwulan.”
Dia tertawa lebih keras.
Saya juga.
Mau bagaimana lagi? Saya mungkin memang mengeluh dan menangis di luar pintu, lalu berkisah terang-terang pada seseorang yang (saya pikir) bisa saya andalkan, bahkan sempat berpikir untuk berhenti dari tempat ini karena merasa tulisan saya sama sekali tak bisa membantu—tapi saya benar-benar berharap semua ketakutan ini hilang dalam dua caturwulan.
Saya ingin jadi lebih berani dalam dua caturwulan.

Agustus 2018.
Lalu datanglah bulan ini.
Baru berjalan dua minggu, Agustus langsung menjadi bulan yang—hey, apakah kita harus menyebutnya “menyakitkan”?
Padahal Agustus datang dengan baik-baik saja, sebelum akhirnya menghantam di tengah hitungan.
Saya, menyedihkannya, terlempar ke titik terendah dalam hidup saya saat itu.
Saya datang ke kantor sore hari, mengira sudah merasa lebih baikan, hanya untuk menyadari bahwa saya lebih baik bekerja dari kosan dalam beberapa hari.
Takut. Malu. Segan.
Naskah-naskah saya ditulis sambil berpikir keras, lalu bercabang ke mana-mana.
“Yang bikin salut adalah kamu memutuskan pindah demi keseriusan itu.”—kalimat ini terngiang lagi, tapi dengan sesuatu yang terasa menyesaki tenggorokan.
Tapi selanjutnya, ada perasaan hangat yang muncul: lengan teman-teman memeluk saya erat-erat. Kali ini, bukan hanya dari luar Mojok, tapi juga Mojok itu sendiri.
“Kami mendukungmu.”
“Take your time.”
“Nggak papa, Lia. It’s okay.”
“Ini sudah tugasku.”

Kamu mungkin menganggap ini aneh, tapi tanpa apa yang Mojok berikan setelah kejadian itu berlangsung, saya mungkin sudah kembali ke kota asal—duduk membiru di pinggir pantai sambil menghitung kerang yang cangkangnya lepas sia-sia.
Saya, setengah mati, merasa terkejut dan—baiklah—juga terharu.
September 2018.
Dua caturwulan sejak Januari sudah berlalu sekian hari. Dua caturwulan yang tadinya saya harap akan terjadi dengan cara menyenangkan itu sudah lewat. Dua caturwulan itu—bagaimanapun—sudah berlangsung.
Saya menulis lagi, meski kadang masih dirundung takut dan kecil hati tak berkesudahan.
Tapi setidaknya, saya tahu, semua orang di sini pun adalah teman.

Dan setiap kali saya mengingatnya, saya merasa jauh lebih baik.
Yogyakarta, 14 September 2018
Aprilia
Saya baru inget kalau lagi Bee Gees disebut di tulisan ini. 😁
LikeLike