Perjalanan study tour semasa SMA dari Cilacap ke Bali adalah perjalanan yang melelahkan. Kupikir, saat itu, tidak ada perjalanan yang akan mengalahkan pegal-pegal dan muntah-muntah mengerikan yang terjadi.
Ha. Aku salah.
Perjalanan 365 hari dari usia 26 tahun ke 27 secara resmi telah jadi pemenangnya.
Jangan bilang aku tidak bersikap adil.
Aku tahu betul perjalanan Cilacap-Bali tidak memakan waktu hingga satu tahun, tapi kurasa ini perbandingan yang fair-fair saja, mengingat keduanya membuatku mabuk berkali-kali.
Kurasa tulisan ini bakal membuatmu bosan, tapi pilihannya ada di kamu: mau meneruskan membaca atau tidak. Aku, si juara membosankan di dunia, mungkin akan berkisah soal cerita paling bodoh yang pernah dialami manusia-manusia sepertiku.
Manusia-manusia sepertiku—manusia-manusia yang mengira semuanya bakal baik-baik saja.

Bulan April tahun lalu tidak dimulai dengan aneh. Kami merayakan ulang tahun pernikahan kakak yang berusia setahun. Selanjutnya adalah debar-debar bahagia menunggu tanggal 29 di akhir bulan.
Seharusnya aku pulang ke rumah. Aku harap aku pulang ke rumah, aku menyesal tidak pulang ke rumah. Tanggal 29 April tahun lalu jatuh di hari Minggu, dan—lagi-lagi—seharusnya aku bisa pulang ke rumah, merayakan usia 26 sambil dicium ibu dan dipeluk ayah.
Tapi, yang aku lakukan malah sebaliknya: mengunjungi tempat sekelompok orang yang paling aku cintai di Jogja. Lebih spesifik lagi: untuk bertemu seseorang.
Kalau kusederhanakan, pertemuan itu berakhir dengan suara yang meninggi dan gas sepeda motor yang menggema sepanjang jalan selepas magrib, setelah aku menunggu seharian sejak matahari meninggi di tengah hari. Impianku soal menyambut usia 26 sambil mengunjungi museum atau planetarium atau sekadar makan pecel lele sudah hancur duluan.
Tapi, kupikir-pikir, tidak apa-apa. Malam itu aku jadi tahu bahwa seorang teman bisa jauh lebih berharga daripada laki-laki yang menjanjikan seisi dunia untukmu.
Hanya saja, rasanya memang tidak menyenangkan dan aku sudah kepalang mengira bahwa orang-orang akan memperlakukanmu dengan baik kalau kamu memperlakukan mereka dengan baik pula.

Aku bertemu dan berusaha lebih jauh mengenal beberapa orang: teman kuliah, teman kerja, teman baru, bahkan temannya teman—semua orang aku salami dan kawan-kawanku bilang aku tidak boleh takut pada orang-orang.
Aku tidak akan menutup-nutupi ada bahagia yang diam-diam meninggi. Seseorang memandangku balik di tengah suapan nasi rawon pinggir jalan dan memegangi payung besar yang dipakai berdua selagi kami meniti tangga candi.
Babak baru sudah dimulai dan—sayangnya—aku tidak begitu tajam melihat apa-apa saja yang mungkin bakal kami hadapi.

Hubunganku dengan keluarga dan teman-teman mendadak serupa rujak dan gado-gado—rumit. Atau sebenarnya, aku saja yang membuatnya “berisik” karena ingin menjauh dari semua orang.
Ayah dan ibu datang ke Jogja sekian kali hanya karena aku tak mau pulang, sementara aku menghindari tempat bertemu dengan kawan-kawan terdekat hanya karena—entahlah—mungkin aku merasa terlalu sedih, terlalu memalukan, terlalu bodoh, dan terlalu naif, sampai-sampai aku bakal maklum kalau-kalau mereka menertawaiku setiap hari.
Rasanya, hidup jadi jauh lebih aman dengan menepi ke sudut bangunan yang kutemukan tidak sengaja, lengkap dengan suara musik klasik serta segelas es kopi yang—kalau kamu memesannya dengan kentang goreng—harganya sekitar 38 ribu rupiah.

Seseorang bilang, ketakutanku bisa saja menjadi kenyataan karena serupa sugesti. Tiap kali mengingatnya, aku bisa merasakan nyeri yang luar biasa di dadaku—bahkan sampai detik ini.
Aku pernah mendengar teori yang mirip begitu, juga apa yang orang bilang sebagai “semesta mendukung”, tapi aku heran kalau ada orang yang mengira bahwa aku menginginkan ketakutan itu jadi nyata.
Maksudku, bukankah ada perbedaan antara ketakutan, feeling, dan kebutuhan akan konfirmasi atas apa yang terlihat di depan mata? Kadang-kadang seseorang hanya butuh jawaban dan penjelasan—lengkap dengan ketegasan, tentu saja—bukan sebuah simpulan yang menyatakan bahwa ia ingin sesuatu benar-benar terjadi hanya karena ia mengira ada hal yang belum ia ketahui.
Ayolah, kamu tahu maksudku.

Sampai tulisan ini diselesaikan, umurku sudah 27 tahun 2 hari karena sekarang sudah pukul 1 dini hari, 1 Mei 2019. Masih banyak teka-teki yang jauh lebih rumit daripada sekadar tes psikologi di akun Instagram yang memaksa kita memilih satu gambar dari empat pilihan untuk ditaksir kepribadiannya.
Di perjalanan 26 menuju 27, kepalaku kadang sakit, kadang tidak, dan—lebih absurd lagi—alergi dingin yang kukira sudah mati bertahun-tahun lalu kini hidup lagi dengan berjaya.
Aku pernah terserang alergi pembalut dan jatuh pingsan saat mengikuti latihan olahraga. Aku melakukan yoga beberapa minggu di hari libur, juga berlatih sendiri memetik gitar untuk melodi “Romance de Amor”—yang kata seseorang seharusnya tidak kulakukan terlebih dulu, tapi aku bosan belajar kunci dasar sendirian yang selalu berujung dengan frustasi karena aku begitu putus asa setiap kali sampai di kunci B minor.
Aku bertekad berhenti begadang, tapi mendadak aku sadar aku ada di fase yang sama seperti tahun lalu: ketakutan setengah mati untuk tidur karena setiap bangun nanti ada perasaan tercekat dan sontak menangis deras.
Aku kadang lupa bersikap lurus karena kepalaku penuh pikiran aneh dan beberapa kali aku harus menahan diri tidak menabrakkan kepala ke tembok kamar.
Dan yang lebih menyedihkan, kadang-kadang aku tidak bisa mengingat betapa melelahkannya setahun belakangan ini—aku justru kembali memupuk ketakutan dan harapanku sendiri di waktu bersamaan, lalu berdoa atas kemungkinan-kemungkinan yang kuanggap baik, tapi entah bagaimana dampaknya di kemudian hari.
Sudahlah, Lia, hentikan dulu.
Jangan lupa pulang dan tidur dengan nyenyak.
Yogyakarta, 1 Mei 2019
Lia