Aku tidak suka sendirian.
Ini rahasia dan hari ini kuputuskan tidak akan jadi rahasia. Aku yakin hidupku hanya serupa reruntukan kue bagi banyak orang, tapi ini cukup membuatku tak ingin lagi menunggu tanpa teman.
Maksudku, ayolah, rasanya sungguh membosankan bermain pianika di teras rumah yang pintunya dikunci dan hanya akan dibuka berjam-jam kemudian kalau ayah atau ibumu pulang bekerja.
Atau, saat kamu menatap ke luar jendela sambil sesekali melongok ke ujung jalan, menebak-nebak kenapa kakakmu tidak pulang di waktu yang dijanjikan siang tadi, setelah dia bilang bahwa agenda bermainnya hanya untuk anak-anak kelas 6 SD, bukan anak kelas 3 SD sepertimu.
Orang tua sahabatku bercerai waktu kami masih kecil dan ia jadi suka menangis. Kadang-kadang aku tidak bisa menemaninya saat menangis karena ia berada di dalam rumahnya, sementara aku hanya bisa duduk di luar pagar. Tidak ada orang di rumah karena pintunya dikunci dari luar. Sampai sekarang aku masih ingin menangis mengingat caranya berteriak pilu.
Soalnya, sakit sekali rasanya kalau kamu tidak bisa menolong orang yang kamu sayangi saat sedang bersedih.
Pada akhirnya kami terpisah juga karena rumahku pindah. Sahabatku tidak menangis waktu aku pergi dan tidak kembali ke perumahan kami. Katanya, tidak apa-apa.
Padahal aku tahu, ini semua karena kami sudah masuk ke masa puber dan ia telah berganti pacar hampir setiap bulan. Bahkan, malam mingguku belakangan itu tak lagi diisi obrolan tak tentu arah di pinggir parit karena ia harus pergi membawa motor untuk boncengan berdua dengan perempuan yang bahkan tak aku kenal.
Jadi, mau dipikir bagaimanapun, kurasa sejak dulu aku sudah melakukannya: tidak suka sendirian, meski berakhir begitu.

Waktu SMP, akhirnya aku punya sahabat perempuan, dan kurasa ini rekor yang baru. Aku pernah marah pada ibuku—sebuah masalah anak remaja yang menyebalkan—lalu pergi ke rumah sahabatku ini berjalan kaki.
Saat itu, aku masih tinggal di perumahan lama. Jarak rumah kami lumayan jauh, tapi seorang anak perempuan tidak akan memakan omongannya sendiri, kan?
Aku lupa bagaimana bisa aku tidak kelelahan, tapi aku ingat betapa di tengah-tengah perjalanan tadi, sahabat laki-lakiku, yang sudah kuceritakan di atas, datang menyusul membawa sepeda motor dan menyuruhku naik.
“Aku antar.”
Dia sudah menikah sekarang, punya istri dan anak. Tapi, tanpa bermaksud menyakiti hati keluarga kecilnya, setiap kali aku mengingat hari itu, rasanya aku ingin memeluknya kencang-kencang.
Dan lama sekali.
Hidup begitu rumit dan jauh lebih tidak menyenangkan dibandingkan masa kecil kami yang selalu pergi berdua. Sepatu sekolah kami bahkan sama persis dan dia pernah mencium pipiku waktu TK. Di usia lebih dewasa, setiap kali—benar-benar setiap kali—aku tiba-tiba merasa sedih dan ingin bertemu dengannya, SMS-nya bakal masuk lebih dulu, berbunyi:
“Apa kabar?”
Sumpah, aku merindukannya. Aku sendirian dan ini rasanya tidak adil.

Dulu kupikir, aku akan menikah dengan seseorang yang kupacari dalam jangka waktu panjang, lalu kami hidup bahagia. Aku tidak berencana memamerkan cincin tunangan di media sosial, asal bahunya hanya disandari olehku saja. Tapi bahkan sebelum mimpi itu dibangun lebih dalam, tahu-tahu semuanya lebur berantakan.
Aku ingat aku menangis sendirian membaca kata-katanya dan bertanya-tanya apakah aku sebegitu murahan dan gampangan—seperti apa yang dia bilang pada semua orang? Mungkin ini aneh, tapi aku menggantungkan nasibku pada sebuah buku manajemen kesedihan karena, hey, tak akan pernah mudah hidup normal kembali setelah nyaris sewindu kamu mengonsumsi senyum seseorang, tahu.
Kupikir ini akan selesai dengan baik-baik saja, tapi hidup itu rumit—ingat? Tuhan memberiku kesempatan lagi untuk bertemu dengan seseorang, tapi ternyata pisaunya jauh lebih tajam, sebelum akhirnya ia melemparku kembali pada seseorang yang lain, yang pisaunya lebih dari sekadar tajam.
Menusuk, dan perih sekali.
Tenang saja, aku tahu ini tak ada apa-apanya dibanding derita seluruh manusia di bumi. Hanya saja, kadang-kadang aku ingin tahu, apakah seharusnya “sendirian” itu menjadi hal populer di dunia?

Nasi goreng yang kupesan di working space langgananku rasanya berbeda pagi ini. Mungkin karena aku tidak memesannya dengan cabai, seperti biasa? Entahlah, tapi rasanya malah agak manis. Aku cuma makan separuh karena—tahu-tahu—semuanya meledak lagi dan aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan selain menulis cepat-cepat.
Ada banyak hal di dunia ini yang ingin aku tanyakan—pada siapa pun. Soal alasan. Kesempatan kedua. Komitmen. Kesibukan. Prioritas. Nomor dua. Bagaimana rasanya jadi yang utama. Bayang-bayang. Baju bekas. Contoh yang seharusnya. Obsesif. Kekerasan emosional. Penyakit kepribadian. Caranya survive. Masalah kepercayaan. Jadwal tidur yang seharusnya.
Masih banyak lagi—dan aku tidak tahu harus memulainya dari mana.

Waktu memesan air mineral tadi, tahu tidak apa yang kupikirkan?
Aku merindukan bonekaku di kamar, namanya Abo. Kurasa aku sudah bersikap cukup jahat padanya karena tak lagi sering memeluknya menjelang tidur.
Aku tak bisa menyalahkannya. Tapi, mau sampai kapan pun, ia tak akan bisa menghentikanku dari ingatan soal seseorang, dan itu pula yang menjadikanku sakit kepala meski ibuprofen tak akan berguna.
Abo adalah satu-satunya hal yang mungkin bisa aku peluk kencang-kencang tanpa perlu takut merasa sendirian, tapi di saat bersamaan, ia telah membuatku terlempar sendirian.
Begitu saja.
Sungguh, kurasa ini tidak adil.
Yogyakarta, 25 Mei 2019,
Kali-ini-aku-tidak-mau-disebut-namanya.