#Daniela adalah cerita yang aku maksudkan sebagai cerpen bersambung. Tokoh utamanya bernama Daniela—tanpa alasan khusus selain karena aku menyukai namanya.
Baca cerita sebelumnya di sini.
“Aku akan memberikannya bonus, mungkin sekitar seperempat kilo.”
“Tidakkah itu terlalu banyak?”
Pasar pagi itu belum terlalu ramai, tapi di kios daging babi, dua orang bibi sudah berbincang seru sambil memotong-motong daging segar yang baru tiba. Mereka baru saja menggosipkan anak muda, perempuan, yang setiap Kamis pagi datang ke pasar. Kadang-kadang, ia membeli setengah kilogram daging babi, tapi kadang ia cuma menyapa dan mengobrol sedikit, walaupun temanya itu-itu saja.
“Hari ini laris, Bi?”
“Bi, sehat?”
“Bajumu hari ini cerah sekali! Walau tertutup lemak babi sekalipun, kurasa aku bakal tetap naksir pada motif di lengan kanan Bibi.”
Kedua bibi penjual daging babi tadi sedang membicarakan pertemuan terakhir mereka dengan si gadis—kira-kira empat bulan yang lalu. Kala itu, si gadis (mereka belum tahu namanya, jadi sebaiknya kita memakluminya) datang dengan topi rajut warna biru muda dan kaus polos garis-garis biru dan putih. Ia datang dengan cukup ceria, meminta daging babi setengah kilo dan meminta saran apakah sebaiknya ia membeli bagian paha atau bahu.
Yang terjadi selanjutnya seperti drama percintaan (“Aku yakin aku pernah melihatnya dalam drama di kelas sastra waktu aku SMA tahun 70’an!”). Si gadis ini tiba-tiba didatangi seorang pria yang matanya bengkak—eh, terlihat bengkak. Sepertinya, pria ini tidak tidur 4 hari, atau mungkin malah seminggu, karena ia terlihat menyedihkan sekali.
“Aku menemukanmu,” kata si pria tiba-tiba, langsung menyentuh tangan si gadis dan menggenggamnya. Si gadis berteriak cukup keras karena kaget, tapi pria ini langsung berlutut di hadapannya.
“Maafkan aku, maafkan aku,” katanya berulang-ulang, “Aku bisa menjelaskannya padamu. Tidak seperti yang kamu duga.”
Kedua bibi penjual daging babi hanya bengong menatap apa yang terjadi di hadapan mereka. Si gadis berlari setelah melemparkan uang terburu-buru sambil bilang terima kasih (“Setidaknya kita tahu bahwa dia betul-betul berniat makan daging babi walaupun ada orang gila yang datang, kan?”) dan kedua bibi penjual daging babi tadi bersumpah bahwa mereka tak tahu apa yang terjadi kemudian, kecuali adegan si gadis berlari menjauh dari pria aneh tadi melewati kios sayuran.
“Menurutmu, dia suaminya?”
“Gadis itu masih terlihat muda, belum 30 kurasa. Tidak mungkin sudah menikah, kan?”
Yang ditanya diam saja. Wajahnya memerah, lalu berkata, “Kau pikir, di usia berapa seseorang seharusnya menikah?”
Si penjual yang bertanya menutup mulutnya. Ia lupa telah menyenggol hal yang sensitif. Kawannya menikah di usia 17—yang menurutnya kelewat muda—dan pernikahannya harus berakhir tragis, sangat tragis sampai tak bisa kutuliskan di sini.
Sisa pagi itu berjalan sedikit canggung. Keduanya tidak bicara sampai pembeli terakhir datang.
Oh, dan tentu saja: gadis itu masih belum datang, walau mereka sudah berniat bakal memberinya bonus seperempat daging babi sebagai bentuk solidaritas sesama perempuan.
***
Armelia tahu nama perempuan itu: Daniela. Mereka mungkin sebaya, mungkin juga tidak, tapi itu tidak penting baginya. Daniela, entah sejak kapan, telah menjadi penghancur kehidupannya.
Armelia bertemu Martin sejak duduk di bangku SMA. Mereka menjalin asmara di semester delapan perkuliahan, sebelum tahu-tahu Martin bertingkah aneh dan mulai “sibuk bekerja” selepas lulus dari Jurusan Arsitektur.
Katanya, “Aku dapat banyak klien, Armelia darling. Harus banyak-banyak diskusi.”
Armelia pernah jatuh cinta dan menjadi budak cinta yang menjijikkan. Ia tak ingin Martin memandangnya rendah hingga akhirnya ia sepakat untuk tidak merecoki kekasihnya itu saat tiba-tiba menghilang.
Puncaknya datang di hari ulang tahunnya. Martin tak datang dan bilang bahwa ia mendapat tugas di luar kota. Anehnya, Fabian—sahabatnya sejak masih berusia 0 tahun—mengirimkannya pesan bergambar: Martin sedang berangkulan dengan seorang wanita yang poninya acak-acakan, tapi senyumnya manis luar biasa.
Singkatnya, kau tahu—perempuan mana yang tak bakal mengamuk? Armelia pikir, kisah cintanya akan berhenti di sana, meskipun cincin pertunangan mereka sudah melingkar di jari tangan kiri. Tapi beruntung, Martin memilih kembali padanya dan meninggalkan perempuan, yang akhirnya ia ketahui bernama Daniela, yang bekerja sebagai penulis kolom cerita pendek di majalah anak-anak itu.
Di antara hancur hatinya hingga kembalinya Martin, Fabian tak pernah absen berada di samping Armelia. Rasanya, terlalu bodoh kalau Armelia berpura-pura tak tahu perasaan Fabian. Ia sesungguhnya menikmati semua waktu bersama Fabian, tapi Martin jauh lebih berharga baginya.
Setidaknya, hingga beberapa bulan berikutnya.
Setelah Armelia dan Martin kembali bersama, hidup yang penuh bahagia masih belum menjadi milik Armelia. Martin seperti sedang menghukum dirinya sendiri dan pindah bekerja ke ibu kota, lalu tenggelam pada semua deadline kerjaan. Armelia mencurigainya berkasih dengan perempuan lain (lagi), tapi Martin tak pernah mau membahas “hal-hal remeh” semacam itu lagi.
Katanya, “Kesalahan itu sudah kubuat sekali dan aku menyesal. Aku harap kita tidak membicarakan itu lagi.”
Tapi sejak hampir setengah tahun yang lalu, Martin benar-benar aneh dan hubungan mereka rasanya lebih hambar dari nasi goreng buatannya. Tak jarang saat berdebat, Martin meracau soal keinginannya mendengar kisah soal kura-kura aneh yang menginvasi Bumi, tapi malah marah saat Armelia pergi membelikannya buku dongeng anak-anak.
“Apa maumu?”
“Tidak tahu.”
Begitu saja. Armelia dan Martin yang serasi bukan kepalang tiba-tiba menjadi sejauh Kamboja dan Kanada. Matahari dan Saturnus. Presiden dan office boy. Pucuk cemara dan ujung wortel.
Mereka berhenti, begitu saja, setelah Armelia mendengar Daniela berhasil merilis buku dongeng pertamanya yang berjudul “Kura-Kura dan Kapal Aneh Berbentuk Persegi yang Mendarat di Sisi Barat Planet Bumi”.
“Kau mau batang rokok yang baru?”
Suara Fabian memecah lamunan Armelia. Tadi, Fabian menertawakan ajakannya menikah, lalu meminta maaf setelah melihat matanya berkaca-kaca.
Sayang sekali, ia tak menyadari ada perempuan yang mengawasi sejak tadi, sebelum akhirnya pergi sambil menangis.
***
Aku menghabiskan episode ini hanya untuk bercerita hal yang sia-sia: mengisahkan soal kenapa Daniela—Daniela kita semua yang seharusnya bersikap ceria dengan poninya yang berantakan, sesekali dengan beanie biru atau kucir rambut kuningnya—menyebut lelaki yang pernah dicintainya sepenuh hati itu sebagai “pria sialan”.
Daniela, menyedihkannya, tidak pernah tahu bahwa pria ini bukan “berkencan diam-diam dengan perempuan lain”, melainkan “berkencan dengannya diam-diam dari perempuan lain”.
Tapi—ah, apa bedanya? Ia tetap patut disebut sialan.
Aku juga membuang-buang waktumu dengan bercerita soal dua bibi penjual daging babi yang sekarang bertanya-tanya apa kabarnya Daniela setelah didatangi pria aneh yang kantung matanya mulai menebal dan tak pernah datang lagi ke pasar hingga satu caturwulan lamanya.
Tapi apa boleh buat, Daniela-kita kini masih meringkuk di kamar sewaannya, meratapi sakit hati yang ia rasakan lagi sejak berbulan-bulan lalu. Padahal, tadinya, ia sedang memiliki janji berkencan dengan seorang pria yang ditemuinya di aplikasi kencan online.
“Kau di mana? Aku baru saja tiba di kedai kopi.” Sebuah pesan masuk ke ponsel Daniela.
Daniela berkedip sekali, menimbang-nimbang balasan apa yang harus dikirimkan pada si pria-aplikasi-kencan-online-nya.
Mendadak, ia mendapatkan ide.
“Menumu payah sekali. Mari bertemu esok hari dan mencoba menu masakanku, bagaimana? Kalau kau suka, kau bisa memasukkannya di kedai. Hitung-hitung, ini eksperimen. Tes pasar.”
Agak lama sampai si pria itu membalas, “Wow. Kenapa tiba-tiba? Tapi boleh juga, aku bosan memasak telur dadar isian sandwich. Apa nama menu andalanmu?”
Daniela sedikit terburu-buru saat menjawab, “Aku tak memberinya nama. Sebut saja ini menu daging babi saus madu.”
Lalu dikirimnya kembali pesan baru, segera setelah si pemilik kedai mengirimkan emoji jempol teracung,
“Omong-omong, perempuan berambut sebahu yang bajunya hijau dan duduk dengan laki-laki yang merokok di meja nomor 7 itu pelanggan tetapmu?”