Tengah malam sudah lewat dan ada banyak hal yang terjadi: Aku baru saja menutup aplikasi Faladdin yang dulu kamu tertawakan lewat layar obrolan hijau-putih.
Hasil ramalan kali ini menggelikan sekali, sampai-sampai aku malah ingin marah dan kupikir aku bisa makan ayam geprek dengan cabe 15. Sebodo amat dengan diare.
Ada banyak sekali umpatan yang tertahan di tenggorokan. Kadang, aku tahu betul aku bukan ingin menangis. Aku lebih ingin melempar apa pun ke arahmu—literally. Setidaknya, pikiran itu berjalan sampai akhirnya aku tahu: Aku punya hidupku sendiri.
Dengar, ya, aku tidak pernah bermain-main pada siapa pun yang kupercaya mendengar tebakanku pertama kali. Aku tidak pernah bermain-main kalau sudah bercerita soal kebiasaan burukku saat tertawa berlebihan. Aku tidak pernah bermain-main, bahkan sejak di hari pertama kita tertawa cukup canggung di parkiran stasiun.
Aku tidak akan membencimu—kalau bisa, aku malah membenci diriku sendiri. Tapi, tidak mau—aku tidak akan membenci diriku lagi kali ini. Dia sudah bertahan terlalu lama dalam drama panjang yang kamu (dan orang itu) ciptakan. Berbulan-bulan lamanya, dia—diriku sendiri—sudah bertingkah cukup tangguh sekaligus lemah, dan seharusnya aku berterima kasih banyak padanya.
Ada banyak titik yang hingga hari ini membuatku ingin menangis dan marah. Tapi, kurasa, kadang-kadang, pergi untuk duduk, diam, dan minum es kopi bakal jadi pilihan yang jauh lebih baik.
Kali ini, aku akan menyayangi semua sakit yang kamu berikan cuma-cuma.
Hidup ini berputar. Nanti senyumku pasti lebar sekali.
Baiklah. Berbahagialah.
Yogyakarta, 2 Agustus 2019,
56 menit setelah dini hari,
Lia.