1.
Sebuah pesan masuk dan seorang teman bercerita soal kekasihnya yang baik hati. Kamu menelan ludah sedikit getir karena teringat satu hari di masa lalu dia menangis seharian setelah dicekik kekasih yang sama. Di saat itu pun, kamu bakal teringat pada tamparan dari seseorang yang membuatmu mengeluh kesakitan, tapi dijawab dengan tawa terkikik-kikik dan tidak ada yang tahu karena, ya ampun, itu kan cuma bercanda.
Begitu katanya.
2.
Iklan Spotify menyebalkan, tapi kamu belum tergerak untuk membeli versi Premium. Rasanya sedikit parno membayangkan kamu harus membuang uang ini dan uang itu. Belakangan, kamu teringat bahwa masa depan membutuhkan uang cukup banyak, mulai dari biaya undangan pernikahan sampai persalinan anakmu suatu hari. Kakakmu tertawa melihat wajahmu sedikit pucat saat bicara soal kain seragam untuk keluarga. Sayang, hujan deras tadi pagi malah membuatnya memaksamu berangkat naik taksi, padahal ongkosnya setara dengan biaya bensin sepeda motormu, full-tank, dan bisa bertahan selama satu minggu. Sama saja.
3.
Playlist-mu memutar lagu Rumah ke Rumah-nya Hindia dan kamu tercengang menyadari ada sedikitnya 12 nama perempuan di sana. Kemarin kamu terserang ketakutan dari sisa-sisa masa lalumu sendiri gara-gara mengetahui kekasihmu punya beberapa nama di masa lalunya (tentu saja, seperti semua orang lainnya!) dan, agaknya, seluruhnya jauh lebih bisa dibanggakan daripada kamu yang selalu merengek menjelang akhir masa datang bulanmu, tapi kekasihmu bilang kamulah yang terbaik dan—walaupun itu terdengar cheesy dan terlalu template bagi sepasang laki-laki dan perempuan—kamu ingin memercayainya.
4.
Temanmu membagikan tulisannya di media sosial dan kamu mengisi kolom reply dengan kalimat sederhana, “Bangga sama kamu!”, lalu dibalas, “Aku juga bangga sama kamu!”. Beberapa hari yang lalu, dengan orang yang sama, kalian bertukar pesan sambil mendoakan satu sama lain. Kamu berterima kasih karena dia sudah mendengarkanmu seluruhnya. Kamu sedikit menyesal sudah berpikir bahwa orang lain bakal bersikap sama sepertinya, bahkan kalau orang lain itu yakin bahwa dirinya lebih tahu soal apa yang kamu alami dibandingkan dirimu sendiri.
Sakit—baik fisik atau mental—yang kamu rasakan tidak bisa dijelaskan dan semuanya sebaiknya tidak lagi coba kamu deskripsikan sama sekali.

Hal-hal membingungkan masih datang; sama normalnya dengan lampu merah dan hijau di perempatan yang ramai. Tulisan ini bahkan kamu unggah tanpa tujuan. Tapi, tetap bertahan bangun pagi dan berangkat kerja ke kantor adalah kunci yang membahagiakan. Menulis apa pun yang kamu rasa perlu kamu tulis adalah kebebasan. Orang-orang baik di sekitarmu adalah berkat dan kado yang Tuhan kirimkan dari tempat rahasia.
Semoga sejak hari ini, hidup kita semua menjadi jauh lebih melegakan.
Jakarta, 20 Januari 2020
Lia, menulis pertama kali di tahun baru.
Adek terbaik! Juara satu seluruh dunia.
LikeLike
Wkwkwk mana pialanya, A, manaaa?
LikeLike
Baiklah, ibu penulis!
LikeLike
Hahaha siapa niiih? Makasih, ya :3
LikeLike
ada mantra apa si di tulisan mbak lia, selalu suka sekaliiiii akuu
LikeLike
Waaaah makasih banyak ya, Dinaaar ❤
LikeLike
liked
LikeLike
Bagus mba
LikeLike
Asik, makasih banyak, ya 🙂
LikeLike
Saya termasuk yang cukup terbawa suasana saat baca tulisan Kakak resign dari Mojok. Untungnya masih ada blog ini. Jadi masih bisa baca tulisan-tulisan random Kakak yang update.
LikeLike
Wah terima kasih banyak, ya! This means a lot 🙂
LikeLike
Nyimak selalu mb April,
LikeLike
Makasih ya❤️
LikeLike