Kita Selalu (Pernah) Jadi Antagonis

Perjalanan dari tempat meeting ke Stasiun Gambir di akhir bulan Januari mungkin bakal jadi perjalanan di atas sepeda motor paling “berisik” yang kamu ingat.

Mulanya, kelewat biasa. Kalian berempat duduk bersama sambil meneguk teh dingin. Dua orang dari kalian baru saja berhenti merokok, tapi itu bukan masalah. Malam itu menjadi satu lagi saksi diskusi yang lebih banyak bicara soal saus daging steak.

Berhentinya roda yang sudah kalian berempat dorong keras-keras memang cukup mengejutkan. Semua datang tiba-tiba dan tidak ada tawa yang terdengar saat baris kalimat itu diembuskan. Keputusan berikutnya memang considerate, tapi kamulah yang terlepas paling jauh.

Selesai. Kamu sudah selesai.

Buat sesaat, hening di antara empat gelas teh dingin itu menyiksa. Tiga orang kawanmu tampak seperti antagonis—setidaknya untuk air mata yang kamu lepaskan sepanjang perjalanan ke Stasiun Gambir.

(source: http://www.pixabay.com)

Lalu hari ini, waktu seharusnya kamu tertidur karena badanmu sakit sekali, kamu malah duduk dan melihat langit-langit.

Di tempat yang terpisah seratus dua puluh menit perjalanan dari tempat ini, ada seseorang yang baru saja kamu baca ulang pesan-pesannya, yang tidak keberatan menempuh seratus dua puluh menit itu di hampir setiap tujuh hari.

Tapi di situlah kamu lantas teringat perjalananmu ke Stasiun Gambir dan kali ini terpikir: orang yang membuatmu ingat pada minuman kemasan dengan sedotan besar ini, bagaimanapun, pastilah cuma manusia biasa.

Di masa lalu, tidak mungkin kamu tidak jadi antagonis bagi selusinan—atau lebih—orang. Kamu pernah menerima sebatang cokelat sambil bersungut-sungut, pernah pula berpura-pura tidur pada dering telepon. Untuk beberapa waktu, kamu merasa perjalananmu kemudian adalah bumerang yang sisinya tajam. Berputar. Dan tajam. Dan berputar. Dan masih tajam.

Sebut lagi prinsip tadi karena berlaku juga pada seseorang yang namanya sekarang ada di daftar teratas kontak pesanmu. Berani taruhan, dia juga antagonis pada kisah yang lain, yang tak pernah ada sentuhan tanganmu. Dia juga antagonis, mungkin bagi beberapa orang yang juga pernah mengiriminya cokelat dan meneleponnya tak berhenti.

Kamu rasa, itu benar. Totally.

(source: http://www.pixabay.com)

Rasanya mustahil berharap pada cerita yang mulainya adalah garis awal di titik nol. Semua orang punya masa lalu dan sekarang sedang membangun masa depan. Jalanan yang panjang dimulai dari sepelepasan aspal panas. Pembicaraan yang menyenangkan dimulai dari satu kali nada sambung. Bungkus kusam bekas es krim dimulai dari sobekan pertama dan krim yang meleleh dalam satu kali gigitan.

Jadi sekarang, di tengah pagi buta yang lain dalam proses karantina demi memutus rantai penyebaran sebuah virus di Planet Bumi, kamu harus terjaga dan merindukan seseorang kelewat lama. Kadang-kadang kamu merutuki betapa jalanmu harus panjang sekali sampai di sini, melewati banyak hal yang aneh dan antagonis, bahkan menjadi antagonis itu sendiri.

 

Oh, dan omong-omong, kamu masih merasa ingin bertemu sekarang, bahkan setelah tulisan ini selesai. Jadi, yah, hal paling normal yang bisa kamu lakukan adalah mengirim harapan ke mana saja supaya kegilaan virus ini cepat berakhir.

Segera.

 

Jakarta, 22 Maret 2020

Lia

Advertisement

2 thoughts on “Kita Selalu (Pernah) Jadi Antagonis

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s