Catatan: Artikel ini mungkin mengandung spoiler, juga sedikit curhat yang kacau. Selamat membaca… kalau mau.
Kemarin, bangun pagi mengerikan karena semua barang kelihatannya berputar kencang dan aku salat Subuh sambil bersandar di lemari baju. Hari ini, bangun pagi terasa lebih normal, kecuali televisi di seberang tempat tidur memutar serial Netflix berjudul Dash & Lily.
Karena orang yang menyalakan serial itu sudah mengalihkan perhatiannya dari game di ponsel, aku jadi ikut-ikutan menonton sambil sesekali meracau sendiri. Serial ini tentang Lily dan lelaki yang dia ajak bicara lewat sebuah buku harian: Dash.
Dan ini adalah bagaimana aku melihat apa saja yang terjadi dalam beberapa episodenya.
Kakak laki-laki Lily, Langston, menawarkan ide yang jadi awal mula judul film ini dibuat. Karena Lily suka menulis buku harian, Langston dan Benny (pacarnya), menulis beberapa petunjuk tantangan bagi siapa pun yang membaca buku dengan sampul bertuliskan “Do You Dare?” itu. Buku harian merah ini diletakkan di toko buku dan Lily hanya perlu menunggu kabar dari penjaga di sana.
Lily menerima ide ini dan tidak kelihatan keberatan. Dia justru langsung datang waktu penjaga toko buku mengabarkan buku hariannya diminati seseorang. Pesan petunjuk yang ditulis Langston dibalas langsung di buku itu: si penulis menyelipkan voucher makan pizza di sebuah kedai.
Lily membalas pesan dan datang ke toko pizza, yang ternyata membuatnya bertemu dengan Boomer, teman si penulis pesan, Dash. Pesan baru dari Lily dibaca oleh Dash, yang namanya tentu masih rahasia, dan berisi tantangan berikutnya.
Mereka saling memperkenalkan diri dengan cara masing-masing, seluruhnya lewat tulisan. Atau, mereka bukan sedang memperkenalkan diri, melainkan berusaha menyenangkan hati satu sama lain lewat cara yang menurut mereka menarik.
Berbalas pesan di buku yang sama mengingatkanku pada komik Azuki yang berbagi buku harian dengan cinta monyetnya, Yunosuke, di Sekolah Dasar. Dulu kupikir, buku harian seharusnya personal, jadi kenapa Azuki membiarkan bukunya jadi milik Yunosuke juga?
Namun melihat mereka bertukar cerita lewat buku yang sama, aku rasa ini soal berbicara dengan media yang berbeda. Tidak selalu bertemu tapi bisa mendengar apa yang pacarmu lalui atau pikiran soal filosofi macam apa yang dia punya, kurasa itu cukup menarik.
Plus, kadang-kadang, memang lebih mudah bicara lewat rangkaian kata yang kamu tulis sendiri.
Jadi, Lily sebaiknya tahu kalau Dash begitu peduli dengannya meski hanya berkenalan lewat buku harian. Seseorang di sebelahku, yang adalah bagian besar di hidupku sekarang dan selamanya, menegaskan bahwa kita memang bisa saja punya perasaan tanpa bertemu, seperti Dash pada Lily. Ini seperti diskusi lalu kami soal digital love.
Ia percaya pada jatuh cinta pada jiwa meski tanpa bertatap muka, sementara aku tak sepenuhnya setuju. Hey, di beberapa tempat di dunia, tak semua orang merasa nyaman pada pandangan aneh “sahabat pena”-nya saat akhirnya bertemu, walaupun mereka sudah sepakat “menjadi cukup dekat” lewat pesan teks. Maksudku, bukan salah seseorang untuk punya penampilan fisik yang tak sesuai seleramu, kan? Dan, kalau kata “cinta” itu tepat, kenapa itu jadi begitu masalah?
Lily punya kekhawatiran yang kurang lebih sama. Ia tahu rasanya dianggap aneh oleh orang yang dulu ia anggap sebagai teman, bahkan orang yang disuka. Kalau ada yang berpikir omongan orang yang sekadar bercanda tak berarti apa-apa, seharusnya mereka belajar dari Lily.
Lily menarik diri karena merasa dianggap aneh dan menghindari teman sebaya. Ia tak punya kelompok teman, bahkan satu saja teman dekat, kecuali orang-orang lebih dewasa di kawasan tempat tinggalnya. Kejadian di masa lalunya cukup traumatis dan membuatnya tak perlu berusaha terlalu keras untuk keperluan sosialisasi.
Dash agak keterlaluan menantang Lily datang ke kelab jam 2 pagi hanya karena ia ingin Lily jadi lebih berani. Meski akhirnya ia jadi menikmati tarian baru atau merasakan jadi remaja sungguhan, kurasa itu agak terlalu berisiko untuk ukuran orang yang baru kenal, apalagi hanya lewat pesan singkat. Lily datang sendiri, dan banyak hal bisa terjadi di sana. Dash mungkin mengirimnya karena merasa itu tempat yang aman, tapi ia jelas tidak mempertimbangkan situasi terburuk yang bisa dialami Lily. Bertemu perundung yang membuatnya menarik diri dari pergaulan atau menjadikannya dihukum seumur hidup oleh kakeknya, misalnya.
Konflik datang dan pergi sampai ke muara yang sudah tertebak sejak sebuah pesan masuk ke ponsel Dash: mantan. Dash terjebak pada situasi canggung dengan ayah dan pacar barunya. Yang selalu menolongnya dalam tahun-tahun yang lalu adalah Sofia, mantan pacarnya sampai setahun yang lalu. Untuk alasan itulah, ia membalas pesan Sofia dan mereka bertemu.
Kurasa dari sini sesuatu sudah terlihat tak bakal berjalan baik. Menghubungi mantan untuk meminta bantuan mereka tanpa bermaksud membiarkan apa pun terjadi setelah itu? Umm, bukan begitu cara kerjanya, Dash.
Dash bercerita pada Sofia soal Lily dan tentu saja Sofia tampak mendukungnya. Ia tak keberatan dekat dengan Dash hanya sebagai teman. Namun, tetap saja, dia seorang mantan kekasih dan akan melakukan tugasnya: mencoba sekali lagi. Jadi, selain gestur yang membuatnya tampak menempel dengan Dash dan ajakan dansa, di permainan Truth or Dare? dia juga berhasil menantang Dash pergi dengannya untuk “kembali ke masa lalu”.
Pergi ke tempat kencan pertama, mengobrol berdua lebih dekat, dan ciuman yang dibalas oleh Dash membuat Sofia tampak jauh di atas angin. Bahkan sampai adegan ini saja kurasa kita semua tahu, menghubungi mantan tak akan pernah jadi pilihan yang bagus. Atau pantas. Atau tepat. Kamu mungkin akan berujung makin membencinya atau dibencinya, atau malah menyadari kalian seharusnya bersama waktu sebenarnya kamu juga tahu betul kalian seharusnya berpisah.
Tak ada yang baik, selain kerumitan tanpa ujung, apalagi kalau kamu membalas “ciumannya”, baik secara harfiah atau kiasan.
Lily ada di tempat yang sama saat Dash pergi dengan Sofia, tapi mereka tidak saling menyadari. Sempat mengobrol, tapi hanya sepintas karena, saat mereka mulai tertarik satu sama lain, Sofia datang dan mereka kembali jadi tamu biasa. Kecuali Lily: dia jadi tamu biasa yang sedikit istimewa karena pakaiannya bertema pohon natal, berkelap-kelip dengan lampu dan ornamen. (Aku tahu dia tokoh utama dan cukup menarik simpati, tapi bagaimana bisa dia pergi berkencan dengan orang yang dulu jadi perundungnya sambil menjadi pohon natal di tempat yang baru? Kurasa ini menggambarkan betapa nyentrik dan beraninya dia, tapi agak berbeda dengan gambaran karakternya soal menarik diri dari hubungan sosial).
Dash mencari Lily keesokan harinya dan ini agak susah mengingat Lily telah dipenuhi asumsinya sendiri soal Dash dan Sofia.
Tapi segalanya berjalan lancar dan baik, melibatkan Nick Jonas. Akhirnya seperti film-film pada umumnya, tokohnya berkumpul dan berdiskusi untuk membuat “semuanya baik-baik saja”.
Dash dan Lily akhirnya begitu. Baik-baik saja.
Aku tertidur di paruh waktu episode terakhir. Sebagian karena ngantuk, sebagian lagi karena ceritanya agak seperti FTV hari Minggu. Saat bangun, si penyala televisi untuk menonton serial ini sudah menghabiskan satu piring mi instan dan kami tidak jadi sarapan bersama.
Jadi akhirnya aku mencuci piringnya dan berpikir apakah Lily dan Dash akan baik-baik saja atau mereka hanya terbuai perkenalan yang tidak biasa. Aku masih agak kesulitan mencerna alasan Lily meminta Dash membuat moci kalau ia ingin mengajarkan kesabaran dan memahami diri sendiri. Di lain sisi, ia menolak bersikap tak selalu positif dan bilang lebih suka berharap ada pelangi setiap hujan. Ini seperti dua sifat yang bertentangan, yang dipaksa dipasangkan dengan analogi sesederhana moci dan menghancurkan karya seni rupa.
Tapi kurasa ini bukan soal mencintai seseorang sebelum bertatap muka. Benar, Dash dan Lily saling peduli dan jadi tampak menyayangi saat belum berjumpa. Namun, fakta bahwa Dash “berhubungan kembali dengan teman lama” (kode untuk mantan) atau Lily yang akhirnya memberi kesempatan berkencan untuk perundung yang mengaku mengaguminya, mungkin adalah pesan yang menunjukkan mereka tak sepenuhnya sungguh-sungguh peduli pada hubungan jarak jauh atau kencan buta ini. Tulisan yang mereka buat dan dapatkan belum sekuat itu memberi keyakinan bahwa mereka perlu bicara langsung dan bertemu, bukannya mencoba peruntungan dengan orang lain.
Ini berbeda dengan Seo Dal Mi di drama Start-up, di mana dia menahan diri dari semua hubungan romantis yang mungkin ia dapat demi seseorang yang menulis surat padanya sejak duduk di bangku sekolah. Pun ia justru tidak berakhir dengan penulis suratnya, melainkan dengan orang lain yang awalnya ia duga sebagai teman penanya, padahal bukan.
Jatuh cinta sebelum bertemu mungkin tidak mustahil, tapi ada banyak hal yang harus dipastikan. Dash dan Lily tahu soal itu dan mereka tidak mempertaruhkan 100% kepercayaan mereka satu sama lain begitu saja. Ini mungkin bukan film romantis, hanya film pertemuan yang tidak begitu lazim. Dash dan Lily sudah bersama sekarang, tapi kita tak akan tahu apa yang terjadi saat mereka sudah berkenalan secara langsung, sungguhan.
Kadang-kadang, perlu kita pahami bahwa tantangannya bukan sebatas di masa berkenalan, melainkan mempertahankan yang telah kita kenal dan pilihannya selalu ada pada kita: menjaganya baik-baik atau melepaskan demi masa perkenalan lain yang baru.
Semoga Dash dan Lily memilih dengan bijak. Kita semua juga.
Cilegon, 13 Januari 2021
Menunggu lebih banyak waktu bersama-sama,
Lia-nya Mas Haris.