#BanyakHalTerjadi Sampai Kamu Memilih Rambut Pendek

Seorang guru musik memintaku menyanyikan nada ketiga berbunyi “Mi” tapi suaraku meleset. Sejak hari itu, ia mengenalku sebagai gadis berambut pendek yang tak bisa menyanyi. Katanya, rambutku mungkin tak akan bisa jadi panjang, entah apa maksudnya.

Tapi siapa peduli? Aku tidak suka rambut panjang. Aku tidak suka keringat yang membuat rambut menempel di tengkuk lama-lama, atau poni yang menggantung dan menghalangi pandangan mata. Kawanku pernah memanjangkan rambut hingga hampir ke belakang dengkulnya dan, percayalah, dia tidak terlihat begitu nyaman setiap kali duduk dan bangun dari bangkunya di kelas 2 SD. Oh, dan omong-omong, dia tidak terlalu sering memakai kucir rambut.

Aku tidak tahu alasan lain aku tidak menyukai rambut panjang. Mungkin karena Sailor Merkuri di Sailormoon berambut pendek? Entahlah, tapi tak ada satu pun karakter anime idolaku yang berambut panjang. Lagi pula, rambut panjang agak merepotkan kalau sedang bermain sampai berjongkok mengendap-endap di bawah jembatan comberan depan sekolah.

Tapi aku pernah mencobanya. Berambut panjang, maksudku. Hanya bertahan sekian hari, sebelum akhirnya aku pergi ke salon dan memotongnya pendek-pendek. Aku suka sensasi gunting yang memangkas rambutku, meski beberapa kali aku pulang sambil merasa marah dan sedih karena kepalaku terlihat seperti helm berbulu warna hitam.

Aku pernah bermimpi punya rambut panjang. Warnanya coklat dan tidak ikal mengembang. Aku mengibaskannya sesuka hati dan bersumpah aku benar-benar merasakannya demikian sampai kukira itu bukan mimpi. Waktu aku terjaga, kepalaku langsung kuraba dan untuk sesaat aku membenci guru musikku yang dulu pernah bilang rambutku akan selamanya pendek dan tak bisa tumbuh lagi.

Temanku punya rambut panjang yang bagus dan agak cokelat. Teman-teman lain menjulukinya Buceri; bule nge-cat sendiri. Aku tidak menertawainya karena kupikir rambutnya keren dan bagus. Kalau sudah dewasa, pikirku waktu itu, aku ingin berambut panjang dan rapi sepertinya.

Saat waktunya tiba menjadi dewasa, ternyata aku masih membenci rambut panjang. Aku pernah memergoki kekasihku waktu itu bercerita pada temannya soal perempuan cantik berambut panjang dan betapa dia ingin melepaskanku supaya bisa leluasa mendekatinya. Aku tertawa pukul 3 pagi, tapi bersumpah tidak akan memanjangkan rambutku kali ini.

Aku pernah menatanya dengan berbeda; rambutku. Tidak ada rambut bergelombang karena aku mengoleskan banyak obat pelurus. Bertahan cukup lama dan terlihat natural. Aku mulai teringat mimpiku waktu kecil. Walau hanya sebahu, aku mulai membayangkan aku telah mewujudkan harapanku dulu: berambut panjang dan rapi seperti Buceri.

Aku membeli klip rambut warna merah dan ungu, lalu memasangnya di sisi kanan rambut bergantian setiap hari. Aku juga pernah membeli klip poni depan yang kupakai dengan rutin. Hebat sekali betapa kita bisa memilih gaya rambut apa yang kita suka. Kadang-kadang aku meluruskannya dengan catokan, tapi kadang sedikit kupelintir agar lebih bergelombang.

Selama sekian tahun berusaha, panjangnya hanya bertahan sebahu; itu paling panjang. Guru musikku tidak bercanda, atau mungkin dia adalah cenayang? Padahal kurasa aku sudah tidak lagi menyimpan dendam, tapi kepalaku tak bisa menahan helaian yang lebih panjang.

Sore ini, aku bertemu lagi dengan gunting rambut. Setiap kali gigitannya tiba dan mematahkan apa yang bergelantung, aku hanya berpikir dalam-dalam.

Pergi, pergi, pergi. Semua ingatan buruk dan rasa takutku, datanglah jarang-jarang. Biarkan aku hidup tenang dengan rambut pendek selamanya.

 

Cilegon, 16 Maret 2021

Lia

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s