Film (500) Days of Summer dirilis tanggal 17 Juli 2009, tapi aku baru benar-benar menontonnya bulan Mei 2021. Dua belas tahun di antaranya kuisi dengan ratusan momen terobsesi Harry Potter dan banyak film/buku serial fiksi-fantasi lainnya, semacam The Hunger Games, 1Q84, Divergent, The Maze Runner, Bliss Bakery, atau Ulysses Moore. Aku tahu; sebuah perjalanan yang panjang, kan?
Catatan: tulisan ini mungkin mengandung spoiler, jadi kalau kamu juga belum pernah menonton (500) Days of Summer dan berniat menghabisiku hanya karena aku kelepasan bercerita apa yang akan terjadi di antara mereka di hari ke-259, lebih baik kamu menutup tab ini.
Catatan (lagi): Aku akan membagi tulisan ini melalui beberapa pertanyaan dan sub-topik yang menarik perhatianku. Sekarang, selamat membaca!
Kenapa judul (500) Days of Summer ditulis dengan tanda kurung?
Ini hal pertama yang membuatku penasaran. Dalam aturan baku, sebuah kalimat tidak bisa dimulai dengan angka, tapi, ya Tuhan (ini kataku, kepada diriku sendiri), ini kan judul film, bukan kalimat.
Jadi, apakah penggunaan tanda kurung ada hubungannya dengan aturan di atas? Ternyata tidak. Penulis skenarionya menyebutkan bahwa mereka ingin menciptakan film yang nggak sentimentil dan nggak sinis sehingga penggunaan tanda kurung dipilih sebagai solusi. Disebutkan, tanda kurung membuat film ini memiliki kesan sebagai musik pop dalam dunia sinema. Sederhananya, mereka terinspirasi dari lagu-lagu tahun 80-an yang ditulis dengan gaya serupa, misalnya berjudul You Make My Dreams (Come True).
Kalau dibandingkan dengan fungsi tanda kurung dalam penulisan bahasa Indonesia, kurasa tanda kurung dalam judul film ini bisa disebutkan mengikuti poin nomor 3 (daftar terlampir).

Siapakah Jenny Beckman?
Di tempat kerjaku di Jakarta akhir tahun 2019 lalu, TV di dekat ruang tengah sering memutar film tanpa suara. Beberapa kali, adegan yang kulihat adalah adegan lift Tom Hansen (Joseph Gordon-Levitt) dan Summer Finn (Zooey Deschanel), tokoh di film (500) Days of Summer, tapi tak pernah sungguh-sungguh kuperhatikan. Kupikir, bukankah ini cuma film cinta biasa?
Ternyata bukan. Menurut penulisnya, Scott Neustadter, ini bukan film cinta. Konon, 75% cerita dari film ini diambil dari kisah nyata hubungannya dengan perempuan yang ia tulis sebagai “Bitch”, Jenny Beckman.
Dari pembuka yang cukup mengejutkan ini (walau kita nggak tahu apakah Jenny Beckman ini nama asli atau samaran), aku menduga film bakal berkisah tentang cinta yang kandas. Yang hancur. Patah. Sialan. Atau semacamnya.
Tidak ada tokoh bernama Jenny dalam cerita, tapi kita dibawa mengenal lelaki bernama Tom Hansen yang bertemu dengan Summer Finn, seorang asisten baru manajernya yang datang dari Michigan.
Tokoh Summer inilah yang merupakan wujud dari terinspirasinya penulis pada sosok di kehidupan nyatanya, Jenny Beckman.
Sebelum Summer Effect, ada Werther Effect!
Tom mengalami apa yang digambarkan sebagai Summer Effect. Dalam film, Summer Effect itu sendiri dijabarkan sebagai: “It is a difficult concept to define, but to make an attempt; the Summer Effect is the quality in a person that makes others notice and perhaps want him or her. Perhaps the definition can be confused with other terms such as ‘love’, and distinctions between them shall be explored later on.”
Dengan kata lain, Tom jatuh cinta.
Tapi, tunggu dulu. Sebelum Summer Effect, ada kejadian yang lebih besar yang, lucunya, disinggung oleh Summer.
Dalam adegan karaoke kantor, Tom dan Summer mulai saling berbicara lebih banyak, sampai ada momen Summer mendorong Tom untuk naik ke atas panggung sambil berkata, “I nominate young Werther here.”
Referensi “young Werther” ternyata merujuk pada novel karya Johann Wolfgang von Goethe, berjudul The Sorrows of Young Werther. Menariknya, aku pernah membaca sedikit cerita mengenai novel Goethe tersebut (terima kasih, pekerjaanku!): Werther dikisahkan sebagai pemuda yang berjuang menjalani hidup yang penuh tantangan, termasuk persoalan asmaranya, mengingat perempuan yang dicintainya justru sudah bertunangan dengan orang lain. Werther, pada akhirnya, menembakkan pistol ke kepalanya akibat cintanya yang kandas. Yang bikin miris, aksi Werther dalam novel justru diikuti sekitar 2000-an pemuda di Eropa dan menjadikannya fenomena copycat suicide dengan sebutan…
… Werther Effect.
Kenapa (500) Days of Summer Disebut Sebagai Film yang Problematik?
Melalui pertanyaan ini, mari kita masuk ke bahasan mengenai filmnya lebih jauh. Tapi pertama-tama, berjaga-jagalah karena bagian ini juga akan membahas sedikit tentang film The Graduate, film yang Tom dan Summer tonton bersama, dan Sid and Nancy, film yang Summer sebut dalam percakapan mereka.
(500) Days of Summer menceritakan soal Tom, lulusan jurusan arsitektur yang bekerja sebagai penulis di sebuah perusahaan kartu ucapan. Ini mengingatkanku pada tempatku bekerja saat ini, perusahaan jasa rangkai kata, meski konteksnya lebih besar dari sekadar kartu.
Tom bertemu Summer pertama kali pada tanggal 8 Januari dan langsung mengalami Summer Effect. Sebagai informasi tambahan, saat itu Los Angeles belum memasuki musim panas alias summer (seharusnya sekitar Juni-Agustus). Namun bagi Tom, Summer sudah menjadi season yang menguasai hidupnya.
Summer mengajak Tom bicara pertama kali di lift saat mendengar suara lagu The Smiths. Selanjutnya Tom berusaha menarik perhatian Summer dengan cara-cara konyol, seperti mengeraskan lagu The Smiths yang ia dengar di kantor. Maksudku, kalau tertarik, kenapa tidak coba bergerak lebih mencolok?
Oke, ini pertanyaan yang lebih besar dan penting: Kenapa Tom bahkan mencoba terus-menerus mendekati Summer? Memang dia nggak tahu, ya, kalau berpacaran satu kantor itu sebaiknya dihindari?
Dasar payah.
Tom bertemu lebih dekat dengan Summer di acara karaoke kantor, di mana mereka bicara soal cinta. Kita dibuat tahu bahwa Summer tidak percaya pada cinta dan senang hidup sendiri. Namun, di akhir pertemuan, Summer menyebutkan bahwa waktunya bersama Tom tadi terasa menyenangkan dan mereka sepakat untuk mulai menjalin hubungan. Tentu saja, yang perlu digarisbawahi, Summer sejak awal menyebutkan bahwa ia tidak mencari hubungan serius.
Tom menyetujui “hubungan kasual” yang akan mereka tempuh dan, sayangnya, ia menginvestasikan terlalu banyak harapan di antara mereka.
Sejak awal film, Tom digambarkan sebagai pria yang bakal mengingatkanmu pada Ted Mosby dari serial How I Met Your Mother (2015), seorang arsitektur yang mencari “The One”. Konsep ini jelas berbanding terbalik dengan Summer yang dengan tegas menyebutkan ia tak percaya dengan apa yang disebut cinta.
Mulanya hubungan Tom dan Summer digambarkan berjalan dengan baik. Adegan IKEA date antara Tom dan Summer bahkan jadi ikonik. Kurasa kamu pernah memimpikan adegan yang sama saat main ke IKEA/Informa/Ace Hardware terdekat dari rumah dengan pacarmu. Padahal, pada dasarnya, IKEA date itu adalah… main rumah-rumahan. Mungkin itu sebabnya kenapa ia terasa begitu menggiurkan dicoba. Kita, kan, tumbuh dengan game The Sims.
Mereka pernah juga melakukan museum date; jenis kencan yang bakal aku lakukan ratusan kali. Obrolan berdua soal daftar mantan ataupun topik yang “belum pernah diceritakan pada siapa pun” juga menarik karena, aku berani bertaruh, kita semua pernah mengalaminya (dan menertawakannya sampai pukul 2 pagi). Bukankah rasanya spesial karena menjadi tempat bercerita orang yang paling penting buatmu?
Setidaknya, begitulah yang ada di pikiran Tom.
Semuanya berubah perlahan, tanpa ada titik pasti keadaan berbeda ini dimulai. Seseorang menggoda Summer karena datang bersama Tom yang diduganya adalah pacar, dan membuat Tom naik pitam hingga melemparkan bogem mentah. Summer marah dan menyebutkan Tom nggak semestinya melakukan itu karena, well, mereka kan cuma teman.
“Teman tidak mencium temannya di ruang fotokopi,” sahut Tom. Seharusnya dia disewa menjadi Duta Penuntut Kepastian Hubungan, tapi sayang sekali sebenarnya dia sudah terlalu banyak berharap sejak awal pada hubungan yang bahkan tidak dimaksudkan sungguhan. Summer dan Tom berbaikan malam itu, tapi nggak mengubah apa yang bakal mereka alami.
Suatu malam, Tom dan Summer menonton The Graduate di bioskop, dan beberapa orang percaya inilah titik balik pikiran Summer Finn. Kukira ini cuma agenda “menonton film” yang biasa, tapi melihat Summer menangis? Rasanya kita jadi layak mencari tahu apa yang film The Graduate coba sampaikan.
Tom mungkin melihat bersatunya Elaine dan Ben, tokoh dalam The Graduate, sebagai bentuk determinasi mengejar belahan jiwa. Padahal, kalau dipikir-pikir lagi, apakah mereka benar-benar bisa bahagia? Ben sebelumnya berhubungan dengan ibu Elaine, dan Elaine pergi dari altar di hari pernikahannya demi Ben. Ben yang sama, Ben yang kita bicarakan, digambarkan sebagai sosok yang bukan idaman kebanyakan orang: belum bekerja, egois, pemalas, dan lain sebagainya. Meski mereka kabur berdua, apakah mungkin hubungan yang terjalin di antara mereka akan berujung baik?
Summer menangis selepas mereka keluar bioskop. Tom bertanya apakah ini gara-gara filmnya, dan Summer berkata “iya”. Beberapa orang percaya, film ini membuat Summer berpikir lebih jauh mengenai hubungan mereka. Sekalipun sudah menyebut tak menginginkan hubungan serius, Summer memang tertarik pada karakter Tom. Tapi, berkaca pada film The Graduate, apakah yang kita kira belahan jiwa memang layak kita perjuangkan?
Dalam adegan makan pancake berdua, Summer memastikan apakah hubungan antara dirinya dan Tom tergolong normal. Tom menjawab dengan menegaskan bahwa dirinya bahagia bersama Summer. “Memangnya kamu nggak?” tanyanya balik pada Summer.
“Berbulan-bulan terakhir, kita bertengkar seperti Sid dan Nancy.”
Tom merasa perumpamaan itu terlalu kejam karena Sid menusuk Nancy tujuh kali hingga meninggal. Ini terlalu berlebihan dan Tom nggak merasa mungkin akan melakukan itu. Aku mencari tahu soal ini dan menemukan bahwa Sid yang dimaksud adalah mantan personil Sex Pistols yang tinggal bersama kekasihnya, Nancy, yang merupakan penggemar musik Sex Pistols. Nancy memperkenalkan Sid pada heroin dan hubungan seksual bebas, menjadikan Sid selalu bergantung pada narkoba dan Nancy. Karena ketergantungan inilah mereka hidup melarat hingga Sid habis akal dan membunuh Nancy. Hari persidangannya tak pernah terjadi karena ia, pada akhirnya, juga ditemukan meninggal karena overdosis.
“Aku Sid-nya,” kata Summer, membawa ke sebuah hening sejenak. Film berjalan kemudian dengan Tom pergi dari restoran meski Summer menegaskan mereka bisa tetap berteman.
Beberapa hari dari angka 500 yang disebut dalam judul tidak selalu berisi Tom dan Summer. Tentu kebanyakan menyorot Tom dan semua pikiran serta asumsinya terhadap hubungannya dengan Summer. Kurasa, inilah yang membuat film (500) Days of Summer disebut problematik.
Summer disebut sebagai pihak yang bersalah karena menghilang dari hidup Tom. Setelah putus, Summer tidak lagi bekerja di kantor yang sama dengan Tom. Kinerja Tom menurun karena kesedihan mendadak dan atasannya memintanya berganti haluan menulis ucapan kehilangan atau simpati. Oh, baiklah, lupakan soal saranku di awal untuk nggak berpacaran dengan teman satu kantor, tapi kita sebaiknya melihat juga bahwa:
- Tom lebih banyak memproyeksikan Summer sebagai apa yang ia yakini, bukan Summer sesungguhnya. Ia percaya bahwa Summer adalah belahan jiwanya, tanpa mempertimbangkan bahwa Summer bahkan nggak percaya cinta.
- Tom membanggakan diri karena Summer menceritakan hal pribadi yang belum pernah diceritakan pada siapa pun, dan kurasa ini menggambarkan karakter Tom yang sedikit terlalu berpusat pada dirinya sendiri.
- Tom nggak mengajak Summer keluar duluan. Thanks to acara karaoke kantor.
- Tom berharap terlalu banyak (lagi) waktu Summer mengajaknya datang ke pesta di rumahnya. Kamu bisa mengingat adegan “Ekspektasi dan Realita” yang fenomenal itu, kan?
- Tom mengingat terlalu banyak sisi Summer yang membahagiakan baginya, menjadikan Summer sebagai model ideal dari seseorang yang semestinya menjadi takdirnya. Ia tak pernah benar-benar mengingat, seperti kata Rachel (adik Tom). Padahal, kalau ia mengingat dengan lebih baik segala hal tentang Summer, mungkin Tom akan tahu dia nggak seharusnya menyakiti dirinya sendiri begini.
Pada akhirnya, Summer menikah dengan seseorang yang lain. Kita nggak diberi tahu lelaki seperti apa yang akhirnya membuat Summer percaya akan cinta dan nggak keberatan punya hubungan yang serius, tapi kurasa ini bukan berarti Summer brengsek atau kurang ajar. Dia hanya tidak merasa Tom orang yang tepat, dan mungkin kita hanya terlalu membela Tom.
Karena, yah, bagaimanapun, putus cinta dan patah hati adalah hal yang bisa menghancurkanmu. Tom menghadapinya pertama kali dan, aku tahu, rasanya sama sekali nggak menyenangkan. Tapi kuharap, Tom, ataupun kamu, berhenti memprioritaskan proyeksi diri sendiri terhadap orang lain, saat sebenarnya si orang lain ini juga punya hak yang sama denganmu untuk menilai ke mana hubungan ini akan dibawa.
Tom Hansen deserves to be happy, ya aku setuju (mungkin Autumn memang jawabannya?), but so does Summer Finn.
And Jenny Beckman.
tulisannya bagus sekali kak, waktu pertama kali film ini gara2 disuruh dosen buat ngereview dan jujur ngerasa kesel sama Summer tapi setelah dipikir2 Summer ga sepenuhnya salah. Dia hanya memperjuangkan kebahagiaannya sendiri dan Tom yang banyak berharap. Manusia cuma bisa berharap, dan Tuhan yang menulis takdir hahahaha.
LikeLike
Iya banget buat kalimat terakhir hahaha. Sejak awal Summer juga udah bilang ke Tom soal “aturannya”, tapi yah namanya manusia. :”)
LikeLike