Kamu sedang duduk waktu tiba-tiba aku datang mengetuk pintu, mengantar sebuah undangan yang bentuknya seperti amplop surat penerimaan murid baru di Hogwarts. Bedanya, aku tidak menggunakan kostum burung hantu saat memberikan surat ini padamu, lalu kamu tertawa karena, belum apa-apa, acara pernikahanku sudah terasa bertema Harry Potter.
Ah, seandainya itu benar-benar terjadi.

Temanya Sudah Jelas, Kan?
Menurut ayah, ideku soal suvenir pernikahan berupa replika tongkat sihir berbagai karakter di film Harry Potter itu terdengar aneh. Padahal, aku sudah mengoleksi beberapa tongkat sihir. Jelas, aku tahu di mana aku bisa memesannya secara terperinci.
Lanjut ayahku, yang lebih aneh dari ideku itu adalah ideku yang satu lagi, di mana aku bilang bahwa di pernikahanku kelak, aku akan pakai jubah asrama pilihanku, begitu juga pasanganku, ayah, ibu, dan ayah mertua serta ibu mertua. Penentuan asrama, sih, soal gampang. Itu, kan, bisa kita lakukan di situs Pottermore (sekarang wizardingworld.com).
Karena aku juga punya keinginan menikah di gedung tempatku lulus Sekolah Dasar, aku membayangkan keluargaku datang dengan cara yang berbeda. Tidak, bukan mobil atau motor. Kurasa yang paling tepat adalah kereta kelinci yang bisa didekorasi agar menyerupai… Hogwarts Express.
Selagi ayah masih geleng-geleng kepala mendengar pernikahan impianku, aku ingat aku terus bicara. Kue pernikahan dengan patung kecil pasangan yang biasa? Lupakan saja. Aku lebih tertarik sesuatu yang sesuai dengan tema. Kue bertuliskan Unbreakable Vow atau berbentuk snitch lebih menggoda. Sebab, bagaimanapun, snitch itu sulit ditangkap dalam Quidditch. Itu analogi yang tepat untuk hari pernikahan, bukan?
Maksudku, untuk merasa yakin aku akan menikah dengan seseorang pasti bukan keputusan yang mudah. Menemukannya sebagai the one pun kurasa bakal cukup sulit pada mulanya. Kurasa, kami seperti snitch untuk satu sama lain.
Jadi, seandainya pandemi ini tidak terjadi dan virus COVID-19 tidak ada sama sekali, sepertinya bukan hal yang mustahil kalau kamu datang ke gedung yang sudah penuh dekorasi sihir atau petugas buku tamu yang didandani secantik Veela.
Seperti ini.




Dalam Cinta, Tidak Ada Garansi
Sudah satu tahun sejak rencana pernikahan dengan memakai jubah Hogwarts itu harus dikubur. Tapi, tidak apa-apa; yang penting bagiku adalah betapa magical-nya cara kami, aku dan Mas Haris, bertemu.
Sambil meneruskan bayangan resepsi pernikahan virtual ini, kurasa tak ada salahnya kalau aku bercerita sedikit.
Dalam satu tahun pernikahan, aku jadi tahu bahwa tidak selamanya semua hal berjalan baik-baik saja, bahkan kalau kami sama-sama menyukai judul buku yang sama. Kami pernah bertengkar hanya gara-gara salah mendengar kata-kata satu sama lain. Kami pernah berdebat soal bagaimana pintu depan sebaiknya terbuka atau tertutup saat tidak ada salah satu dari kami di ruang tengah. Mendatangi kedai nasi bakar kesukaannya, walaupun aku lebih sering memesan nasi uduknya. Memasak mi instan tengah malam setelah episode-episode The Walking Dead yang ditontonnya dengan mata terbuka penuh, sedangkan aku kebanyakan bermain hape atau pura-pura tidak lihat karena terlalu banyak adegan yang menguras emosi.
Aku jadi tahu, menikah bukan berarti menjadi sama.
Temanku pernah bertanya, “Apa yang membuatmu yakin dia bakal tetap mencintaimu dan sebaliknya? Apa garansinya?”
Aku membacanya berulang kali sambil menyadari bahwa jawabannya memang tidak begitu indah: “Tidak ada garansi.”
Tidak ada yang bisa menjanjikan harapan dan rencana kita berjalan dengan lancar. Ini klise, tapi ini adalah bagaimana kita bertahan setiap hari. Memiliki seseorang yang berada tepat di sisi kita rasanya menyenangkan; kamu bisa berbicara apa saja dan menyentuhnya 24/7, tapi tak ada seorang pun yang tahu apakah seluruhnya akan berakhir dengan cara yang baik atau malah jadi tak terduga.
Dalam satu tahun pernikahan ini, kurasa, yang jauh lebih besar kami rasakan adalah betapa kami masih berusaha saling mengenal satu sama lain untuk bekal berpuluh-puluh tahun hidup bersama kemudian.

Setelah Satu Tahun
Menikah, sekarang aku tahu, adalah hal yang besar. Ini bukan hanya tentang kamu keluar dari rumah orang tua lalu berada di atap yang sama dengan orang yang selama ini membalas pesanmu sampai jam 3 pagi. Ini juga bukan kompetisi dulu-duluan mengirim undangan, menggendong bayi, atau bahkan jago-jagoan menggunakan biaya sendiri.
Menikah, sebenarnya, jauh lebih besar dari itu.
Orang yang kamu sebut kamu cintai tanpa cela itu akan jadi orang pertama yang kamu lihat di pagi hari. Ia mungkin akan meminta tolong padamu untuk mengembalikan handuk ke gantungan, sebelum mulai membantumu membuang sampah. Orang inilah yang akan mendengar semua sedih dan marahmu yang tak bisa kamu bagi di media sosial, pun sebaliknya: kamu akan “masuk” ke lingkaran yang sebelumnya tak kamu dapatkan atau temui, dan tanpa sadar hidup kalian kini sudah beririsan. Kalau kamu kira masalahmu hari ini sudah cukup sulit, menikah bukanlah jaminan untuk menghilangkannya; bahkan ia bisa memberimu masalah yang lain. Semuanya berulang setiap hari.
Namun di sana kamu tidak lagi duduk sendirian. Tangan dan kakimu bertambah sepasang, telinga dan matamu jadi empat.
Dua orang yang jadi satu mungkin hanya kiasan, tapi kurasa begitulah aku mendapat kekuatan selama satu tahun ini.
Bahkan, semoga selamanya.

Selamat satu tahun, Mas Haris.
Cilegon, 18 Juli 2021
Lia.
Selamat satu tahun, istriku. ❤️
LikeLike
Asiiik, makasih suaminya aku! ❤️
LikeLike