Never Been Kissed: Jadi Anak SMA Dua Kali di Usia Dua-Lima

Never Been Kissed pertama kali rilis tahun 1999 dan aku mulai menontonnya beberapa tahun setelah itu sebagai seorang remaja yang, tentu saja, sama seperti Josie Geller (Drew Barrymore) dalam film: never been kissed, alias belum pernah dicium—kalau-kalau kau merujuk pada situasi romantis. Bertahun-tahun kemudian, berbekal layanan OTT yang sudah dibayar setahun penuh oleh suamiku yang ternyata rutinitasnya sebagian besar berupa aktivitas menonton-film-dan-menulisnya-kembali-dalam-bentuk-esai, aku menekan Play pada film yang sama, film yang pertama kali menjadikan Barrymore sebagai aktris sekaligus executive producer-nya.

Ya, aku menonton kembali Never Been Kissed. Kali ini, aku menghabiskannya sebagai seorang penonton yang lebih dewasa, sudah menyelesaikan pendidikan SMA, sudah menjadi copy-editor, dan sudah pernah babak belur gara-gara pengalaman asmara.

Seperti biasa, berikut ini adalah ulasan berupa daftar hal yang paling berkesan (buatku) di film Never Been Kissed. Kalau kamu berniat menontonnya tanpa pengaruh apa pun, kusarankan keluar dari halaman ini sekarang juga. Aku nggak akan bertanggung jawab pada spoiler yang nggak sengaja kutulis di sini.


Apa saja tugas seorang copy-editor (dan kenapa Josie bisa dapat ruang kerja sendiri)?

Josie Geller berusia 25 tahun dan bekerja di harian Chicago Sun-Times sebagai copy-editor. Selain memeriksa tata bahasa di produk kantornya sendiri, Josie rupanya merasa punya tugas tambahan untuk mengoreksi kesalahan bahasa orang-orang di sekitarnya, di situasi apa pun.

Atasan Josie, Gus Strauss (John C. Reilly), pernah memintanya menyelesaikan salinan cerita tentang bayi kembar tujuh dengan kalimat penutup, “Hopefully the copy’s not a mess.”

Josie membalasnya bagai kerasukan dosen Lexicogrammar: “It is hoped that it’s not a mess. ‘Hopefully’ is an adverb. It means ‘with hope”. You have it defining the copy, and I’m pretty sure the copy doesn’t have feelings.”

Josie Geller di ruang kerjanya.

Dalam alur yang baku, copy-editor bekerja sebagai pemeriksa naskah untuk memastikan kelengkapan bagiannya. Naskah ini kemudian diserahkan kepada editor konten, sebelum akhirnya dikembalikan pada copy-editor untuk proses mechanical editing. Proses selanjutnya juga melibatkan proofreader untuk memastikan ketiadaan salah tik atau typo.

Menariknya, Josie Geller “hanya” berperan sebagai copy-editor dan lihat apa yang dia dapatkan: seorang asisten dan ruang kerja sendiri! Ini, kurasa, memicu sebuah kecemburuan besar bagi copy-editor lain—setidaknya buat diriku sendiri di masa lalu.

Mungkin karena saat itu aku bukan bekerja di Chicago Sun-Times, tapi ruang kerjaku saat berusia 25 adalah sebuah kotak persegi panjang berbatas triplek, berisi enam orang dan enam meja (tujuh juga pernah), dengan load pekerjaan memeriksa setidaknya 10 naskah buku dalam satu bulan sebagai editor, copy-editor, sekaligus proofreader, dan jelas: tidak ada asisten atau editor tambahan, kecuali pada sekitar 2 bulan yang pendek di suatu waktu.

Dinding sebelah meja kerjaku waktu dulu: daftar bab yang harus diedit, revisi konten, dll.

Terdengar menyiksa? Ajaibnya, nggak. Walaupun aku jadi nggak bisa diajak bicara saat bekerja, masa-masa itu menjadi dasar yang besar untukku yang sedang menulis hari ini.


Menyamar jadi anak SMA: Another ‘Fast Time at Ridgemont High’?

Pada tahun 1982, film berjudul Fast Time at Ridgemont High dibuat berdasarkan buku berjudul sama (1981) yang menceritakan pengalaman penulisnya, Cameron Crowe, setelah kembali menjadi murid di SMA-nya dulu, di San Diego, saat berusia 21 tahun. Ide ini ditemukan kembali dalam Never Been Kissed, di mana Josie Geller mendapat tugas pertama sebagai reporter untuk menyamar sebagai anak SMA.

Secara sederhana, penyamaran ini berarti dua hal bagi Josie: 1) untuk mendapatkan berita, dan 2) untuk menjadi populer—sesuatu yang nggak bisa ia dapatkan di masa SMA-nya sendiri.

Tugas Josie membawa kita pada gambaran masa lalunya: Josie adalah seorang anak cupu di masa “SMA-sungguhannya” (sekitar tahun 1991/1992), lengkap dengan kawat gigi dan julukan Josie Grossie yang nggak sengaja adiknya bocorkan ke  anak-anak sekolah. Rob, sebaliknya, kala itu memang menjadi salah satu siswa populer meski ia masuk sebagai junior Josie.

Josie di tahun 1991/1992 jelas berpikir pengalamannya di SMA bakal selamanya menjadi kenangan buruk: jadi anak paling nggak populer, lantas dikerjai habis-habisan oleh cowok yang ditaksirnya, yang tiba-tiba mengajaknya pergi ke pesta prom hanya untuk melemparinya dengan telur di depan rumah. Karena penampilannya yang nggak modis, ia jadi sasaran ledekan anak-anak yang digambarkan lebih “populer”. Tahu, kan; kelompok kecil yang, saat mereka berjalan, seakan-akan seluruh lorong sekolah ikut menunduk dalam-dalam?

Tapi kurasa, momen kembalinya-Josie-sebagai-anak-SMA-tahun-1999 adalah sesuatu yang klise dan ceroboh. Maksudku, kalau dia begitu teliti pada aturan kebahasaan, kenapa dia nggak bisa melakukan hal yang sama pada riset sederhana soal gaya pakaian anak-anak SMA tahun ’99? Siapa yang bakal pakai setelan putih dari atas ke bawah, lipstik pucat, dan selendang bulu ayam ke sekolah, sih?!

No, please, not that outfit, Josie! :(((

Seperti format umum film dengan tema anak SMA, selalu ada tokoh nerd yang menjadi sorotan. Di film ini, tokoh tersebut adalah Aldys (LeeLee Sobieski), dengan siapa Josie berteman. Kebalikan dari Aldys adalah Kirsten Liosis (Jessica Alba), Kristin Davis (Marley Shelton), dan Gibby Zerefski (Jordan Ladd) yang berperan sebagai mean girls. 

Nilai plus: tokoh Aldys nggak se-nerd itu; malah kurasa dia adalah nerd paling keren yang pernah kulihat (dan kuharap kita semua bersikap sepertinya di masa SMA!).

Aldys selalu cukup percaya dengan dirinya sendiri. Meski merasa dikhianati Josie yang mendadak berteman dengan anak populer di pertengahan film, Aldys nggak menunjukkan kekecewaan yang berlarut-larut. Ia tetap chill dengan kelompok belajarnya, The Denominators (yang sempat mendapat catatan kritik dari penontonnya karena menuliskan nilai Pi sebagai 3,1457… dalam sebuah adegan, padahal seharusnya nilai Pi adalah 3,14159265358979… seperti disebutkan oleh Chul San dalam drama Korea, Start-Up).

Coolest nerd ever.

Aku cukup penasaran dan berpikir apakah ini yang membuat para mean girls merasa “terancam” dengan keberadaan Aldys sampai-sampai mereka—bersama si cowok populer, Guy Perkins (Jeremy Jordan) dan temannya, Jason (James Franco)—berniat untuk menyiramnya dengan makanan anjing di pesta prom.


Inilah kenapa sebaiknya masa SMA hanya terjadi sekali saja.

Selain beberapa hal yang cukup “template”, bagian lain yang menurutku terlalu dipaksakan adalah saat Rob, adik Josie, ikut menyamar sebagai anak SMA dengan dua alasan: 1) untuk mendapatkan posisi sebagai pemain tim baseball nasional alih-alih karyawan biasa di tempat kerjanya saat ini: Tiki Post; dan 2) membantu Josie menjadi populer.

Menurut Rob, untuk menjadi populer, Josie harus memiliki setidaknya seseorang yang meyakini kekerenannya. Saat kabar ini tersebar, semua orang akan terlalu takut untuk mempertanyakannya dan, secara otomatis, menjadikan Josie benar-benar populer. Dalam hal ini, Rob sendirilah yang menjadi orang itu. Setelah berhasil menjadi populer di hari pertamanya menyamar jadi anak SMA, ia menyebarkan kabar pada murid-murid lain betapa hebat, kaya, dan kerennya Josie.

Bagian ini membuatku tertawa, mengingat betapa naifnya anak-anak SMA; bahkan mungkin kita di masa lalu. Jika adegan di atas dijelaskan dalam satu kalimat, kurasa aku bisa mengatakannya begini: Semua terjadi berkat the power of “katanya”. 

Tambahan cepat: Ini mengingatkanku pada guru bahasa Indonesia SMA-ku yang terang-terangan menuduhku menulis puisi jiplakan di depan kelas. Sampai beberapa hari ke depan, kabar ini tersebar ke telinga beberapa teman dari kelas yang lain, yang umumnya menyapa dengan bilang, “Katanya kamu dituduh, ya….”

Josie dan Rob Geller.

Kepopuleran Josie ternyata tidak membuatnya lebih mudah menulis soal anak-anak terkenal seperti yang diminta oleh Gus. Dipantau oleh Gus dan kawan-kawan kantornya yang lain, seperti Anita (Molly Shannon) dan George (Cress Williams), melalui kamera yang ditempel ke atas bros kecil dengan sayap di bajunya, Josie diminta untuk menulis dengan topik yang lebih “memungkinkan”: kedekatan terlarang antara murid dan guru di SMA. Permintaan Gus ini berangkat dari kedekatan Josie dengan guru bahasa Inggrisnya, Sam Coulson (Michael Vartan).

Josie menolak karena ia merasa hubungannya dengan Sam hanya sebatas guru dan murid. Tapi menurutku, ada beberapa momen antara Sam dan Josie yang memang tampak nggak wajar untuk hubungan “guru dan murid”. Di adegan Josie naik bianglala sendirian, misalnya. Sam datang tiba-tiba dan menjadikan mereka naik berdua.

Padahal naik bianglala sendiri juga seru…

Sam bercerita soal putusnya hubungan dengan sang pacar, meski akhirnya ia meminta maaf karena sudah membawa topik itu untuk diobrolkan bersama Josie yang merupakan muridnya. Perbincangan ini jadi sedikit flirty pada bagian berikut:

Sam: “All I can tell you is that when you’re my age, the guys will be lined up around the block for you.”

Josie: “You have to say that. You’re my teacher.”

Sam: “I shouldn’t say that because I’m your teacher.”

Kalau bisa, aku mau banget memberi tahu Sam saat itu juga bahwa Josie bukan remaja berusia 17 tahun agar percakapan di atas nggak terdengar cringe dan creepy. Dan, akui saja, kalau ada bumbu asmara dalam perjalanan Josie sebagai anak SMA, sebaiknya memang hanya terjadi pada tahun 1991/1992 saja, bukan 1999; apalagi kalau melibatkan skenario seorang guru dewasa yang terlihat seperti merayu remaja di bawah umur.


Banyak hal berulang saat kamu menjadi anak SMA (lagi).

Dalam liputannya yang akhirnya dinaikkan sebagai berita di Chicago Sun-Times, Josie menuliskan apa yang ia dapat dari pengalamannya menjadi anak SMA di kesempatan kedua.

Bahwa beberapa hal, sebenarnya, tak pernah benar-benar berubah.

Di gedung SMA itu mungkin masih ada kelompok mean girls yang kamu hindari atau lelaki yang membuatmu berdebar-debar saat bertemu, tanpa tahu ia bakal jadi cerita cinta masa SMA yang ingin kamu lupakan. Di suatu kelas yang kamu datangi, kamu mungkin akan bertemu dengan seorang teman yang menyapamu duluan, lalu tahu-tahu kalian menjadi akrab dan bersahabat. Dari sederet mata pelajaran, kamu juga bisa saja bertemu guru yang akan kamu ingat seumur hidup, baik dari caranya mengajar atau hal lain yang membuatmu terkesan.

Prom 1999, Josie Geller.

Dalam kasus Josie, ia menambahkan keterangan di paragraf akhir soal guru yang dimaksud: Sam Coulson. Karena Josie telah membongkar identitas dirinya sendiri di acara prom sekolah (tebakanmu benar: Josie-yang-sebenarnya-berusia-25 terpilih sebagai Prom Queen bersama cowok paling populer, Guy Perkins), Sam langsung menebak bahwa dirinyalah yang sedang dijadikan target tulisan oleh Josie. Terkejut dan marah, ia kemudian berniat pindah di hari tulisan Josie terbit.

Seperti judul film ini, Josie menyebut dirinya never been kissed dan ia “menantang” Sam dalam artikelnya. Josie mengajukan permintaan maaf dan, jika dimaafkan, Sam diminta datang ke acara pertandingan baseball sekolah untuk menciumnya di tengah lapangan, lima menit sebelum pertandingan dimulai.

Yes, you read it right: alih-alih berita soal kelakuan anak SMA, pembaca Chicago Sun-Times malah disuguhi pengakuan cinta seorang gadis 25 tahun yang menanti jawaban dari guru bahasa Inggris di hadapan para reporter yang diundangnya sendiri.

Tapi, mengingat adegan saat Sam datang terlambat ke lapangan serta musik yang mengiringi langkahnya menuju Josie? Damn, I don’t mind replaying that scene over and over again. 

Artikel yang ditulis Josie Geller.

Menonton film ini membawa banyak emosi buatku.

Rasanya nostalgic, karena ini film lama yang kutonton saat remaja; dan terhibur karena, walaupun ada beberapa adegan yang unbelievable, selalu ada bagian yang membuatku merasa “dekat” dengan film ini.

Aku akan menutup tulisan ini dengan kutipan yang paling aku ingat, diucapkan oleh Sam Coulson kepada Josie Geller:

“You’re a great writer. You just have to find your story.”

yang—omong-omong—mengingatkanku pada mimpiku sendiri.

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s