Tanggal satu, bulan dua belas.
Lagu Taylor Swift jadi langganan diputar saat bulan terakhir dalam setahun tiba. Kalau kamu meluangkan waktu membaca lirik dan melihat videonya, kamu tahu lagu ini berkisah tentang apa.
Pada hari yang baru ini, kamu bersyukur tidak menyanyikan lagu “Back to December” sepenuh hati, tidak pula menjadikannya soundtrack yang membuatmu berpikir kisah hidupmu sedang ditulis.

Pada bulan Desember dua tahun lalu, seseorang sudah datang dan kamu meninggalkannya semudah membalikkan tangan. Kamu berpikir tidak ada yang bisa dimulai sebab kalian seperti tak ditakdirkan bersama. Tidak ada gunanya mencoba. Kalaupun peluangnya tinggi, rasanya cuma seperti taruhan yang terlalu bagus. Mustahil. Menakutkan. Tidak layak dicoba karena kamu takut gagal.
Tapi, ajaibnya, lirik “This is me swallowing my pride, standing in front of you saying, ‘I’m sorry for that night,'” seperti menamparmu sebelum berganti bulan. Ada dialog panjang yang muncul dan terasa bagai menelanjangimu, mengucuri ketakutanmu dengan garam, memaksamu melihat ke depan dan berhenti duduk manis di kubangan lumpur.
Kamu memilih bertemu kembali dan memberi dirimu sendiri kesempatan. Kamu berjudi pada nasib dan mengabaikan kemungkinan gagal. Kamu terjun lagi dari ketinggian dan tak khawatir soal parasut.
Kamu tidak melepaskannya.

Sekarang sudah lewat dua tahun. Tulisan dengan bahasa puitis seperti ini bahkan terasa bagai lelucon sebab kamu sudah jauh mengenalnya lebih baik hari ini—kalian tidak berbicara seperti pujangga begini pada satu sama lain, bukan? Tapi, bagaimanapun, Desember selalu jadi pertanda, dan pengingat, bahwa seberapa jauh kita jatuh dan terbujur kaku, selalu ada kesempatan untuk berdiri lagi.
Dan, kadang-kadang, kakimu yang sudah cukup kuat itu dibantu pula oleh sepasang lagi yang memberi banyak hal yang tak pernah kamu duga kamu berhak dapatkan.
Untuk semua yang sudah kamu pilih, kamu lega tidak melarikan diri (lagi) darinya. Hari ini, tidak ada yang sesak yang kamu rasa, tidak ada pula lagu “Back to December” yang kamu putar sambil menangis.
“Terima kasih,” katamu.

PS: Tulisan ini dibuat untuk mengenang bulan Desember 2019, yaitu bulan pertama kali aku bertemu dengan laki-laki yang sekarang jadi suamiku, setelah selama setahun hanya berkomunikasi via WA dan sesekali telepon. Tidak pernah terpikir bahwa kami akan menikah; aku hanya mengenangnya sebagai penulis kontributor di tempatku (dulu) bekerja yang suka memuji kelewat sering. Waktu kami bertemu, aku terlalu gugup dan sempat berpura-pura tidak melihatnya di tempat kami seharusnya bertemu sebab aku tidak berani mulai menyapa duluan. Iya, dia yang menyapaku duluan.
Cilegon, 1 Desember 2021
Lia