#Daniela adalah cerita yang aku maksudkan sebagai cerpen bersambung. Tokoh utamanya bernama Daniela—tanpa alasan khusus selain karena aku menyukai namanya.
Daniela berbaju merah. Kucir rambutnya kuning emas. Senyumnya simpul saja—tidak ada yang spesial, kecuali kalau kamu bertanya pada laki-laki yang dulu pernah menciumnya, lalu menjalin cinta diam-diam dengan perempuan lain, dan harus menerima kenyataan bahwa Daniela terlalu marah untuk kembali membalas kecupannya.
Daniela tidak suka rambutnya yang lurus jatuh tanpa variasi. Setiap malam ia menggulung rambutnya dengan kaus kaki tak terpakai—sebuah cara yang diajarkan oleh sahabatnya yang kini sedang berlari-lari di surga. Setelah dibasahi sedikit dan didiamkan semalaman, rambutnya akan membentuk lekukan-lekukan acak di bagian bawah.
Hari ini, seperti yang kamu lihat, Daniela sedang tampil cantik sekali, serupa tokoh utama dalam telenovela yang poninya penuh dan bergoyang tertiup angin. Bedanya, poninya tidak serapi milik Belinda Peregrin saat tampil di serial Amigos X Siempre dan kini ia sedang menunggu seseorang.
***
“Acaranya di bar. Kau mau datang?”
Adegan ini terjadi di kedai kopi yang hampir ditutup tiga bulan lalu. Dindingnya kusam dan pelayannya cuma dua—yang satu merangkap sebagai pemilik resmi, yang saat ini sepertinya belum datang.
Tidak ada menu lain selain cappuccino dan sandwich isi telur dadar di sana. Namun begitu, tak ada pengunjung yang protes—kau bahkan bakal mengakui bahwa sandwich-nya adalah yang terbaik di galaksi ini, meski cappuccino-nya mirip seperti minuman basi.
Pertanyaan tadi datang dari pria yang sedang mengisap rokok: Fabian. Asapnya mengepul ke mana-mana, tapi mana dia peduli? Sekalipun yang duduk di depannya—orang yang ditanyainya—adalah Armelia, rokok jelas akan lebih dicintainya.
Meskipun kurasa, seluruh kota sudah tahu bahwa Fabian mencintai Armelia sejak lahir ke dunia ini, dan akan selalu begitu.
“Aku tidak suka melihat orang mabuk,” sahut Armelia, sambil mengunyah isian telur dadar yang tercecer ke pinggir piring.
Alasan klise, batin Fabian. Armelia adalah orang yang dikenalnya dengan baik, dan kali ini ia menjawab tanpa menatap mata Fabian. Artinya, Armelia hanya ingin menolak apa pun yang didengarnya.
“Mau rokokmu, boleh?”
Fabian terperangah, “Sejak kapan kau merokok?”
Armelia tak menjawab, tapi tangannya langsung menarik sebatang dari kotak yang Fabian letakkan sejak tadi di atas meja. Ia sendiri mengeluarkan korek api dari saku tasnya: bermotif bunga-bunga.
“Seharusnya aku merokok dari dulu,” jawab Armelia asal saja. Kini warna lisptik merah tuanya berpindah ke ujung batang yang diisapnya.
“Kau sedang sedih,” tebak Fabian.
“Sok tahu.”
“Lisptikmu warnanya tua. Biasanya kau pakai merah cerah. Atau oranye.”
Perempuan yang rambutnya sebahu itu berhenti menatap asap yang keluar dari mulutnya. Kini matanya memandang Fabian dalam-dalam.
Kau patah hati lagi, ya? tebak Fabian, kali ini di dalam hati. Tahun lalu, Armelia hampir bunuh diri setelah putus dengan kekasihnya yang sudah memberinya cincin tunangan. Kau boleh tertawa, tapi Fabian—si pejuang cinta satu arah ini—menemaninya hingga ia sembuh benar.
Atau setidaknya, sampai Armelia dan kekasihnya balikan, meninggalkan Fabian dalam nelangsa.
“Menikah denganku, mau?”
Fabian sekarang tersedak asap rokoknya sendiri. Armelia masih menatapnya tajam setelah mengeluarkan kalimat ajaib tadi.
***
Aku tidak tahu harus menceritakannya dengan cara apa padamu, tapi sekarang Daniela—tokoh utama kita yang tadi muncul sekilas di awal tulisan—pulang dengan mata yang basah dan maskara yang luntur. Sial benar ia, harus mendapat maskara dengan kualitas rendahan padahal harganya nyaris seperempat gajinya.
Kucir rambutnya masih terpasang di kepalanya, tapi tiga detik kemudian ditariknya sedikit kasar. Daniela merengek pada dirinya sendiri, berusaha keras berkomunikasi pada hatinya untuk berhenti menangis.
Gagal.
Daniela berbaju merah. Kucir rambutnya kuning emas. Senyumnya simpul saja—tidak ada yang spesial, kecuali kalau kamu bertanya pada laki-laki yang dulu pernah menciumnya, lalu menjalin cinta diam-diam dengan perempuan lain, dan harus menerima kenyataan bahwa Daniela terlalu marah untuk kembali membalas kecupannya.
Begitulah kita mengenal perempuan yang satu ini tadi. Sayangnya, senyumnya kini melengkung ke bawah, meski aku rasa mantan kekasihnya tetap akan bersujud di kakinya karena penyesalan yang terlampau besar.
Tapi—tidak, Daniela tidak sedang menangis karena tidak sengaja bertemu pria sialan itu. Sudah beberapa bulan ini hidupnya jadi jauh lebih baik. Teman-temannya kerap menemaninya tidur di kamar yang disewanya dan dibayar per tiga bulan.
Maksudku, sebagai perempuan muda yang tinggal sendiri—kecuali kalau kau menghitung kucing liar yang suka datang ke kamarnya—kurasa ia cukup kuat dan tangguh.
Daniela sudah menutup semua akses komunikasi dengan si pria sialan. Terakhir, ia dikuntit habis-habisan, termasuk saat pergi ke pasar dan membeli setengah kilogram daging babi. Daniela hampir gila saking takutnya, sebelum akhirnya seorang tetangganya yang baik hati menghajar pipi si pria sialan yang suatu hari cukup nekat dan berniat memeluk Daniela karena terlalu rindu.
Ah, rindu itu jauh lebih sialan—begitu selalu pikirnya.
Daniela rindu pada banyak hal: pada ibu dan ayahnya yang tinggal di kota berjarak 12 jam lamanya dari tempatnya tinggal, pada sahabatnya yang terbujur kaku setelah dihantam truk yang pengemudinya mabuk, hingga pada si pria sialan tadi.
Pelukannya—harus ia akui—adalah satu-satunya hal yang ia butuhkan di dunia ini, dan ciumannya adalah obat penenang yang paling luar biasa.
Tapi lebih dari itu, si pria sialan tadi adalah orang yang dulu selalu mendengarkan keluh kesah Daniela, termasuk cerita imajinasi di kepalanya soal seekor kura-kura yang berhasil menguasai Bumi.
“Kau bilang, kita bakal dipimpin seekor kura-kura?”
“Kura-kura yang tua sekali, yang kalau berjalan saja perlu waktu lebih lama daripada yang kamu butuhkan untuk segera datang ke sini.”
“Sayang, aku tadi cuma terkena macet.”
Daniela akan tersenyum memaklumi saat mendengar si pria sialan berkata demikian, lalu kembali bersandar pada bahunya dan melanjutkan cerita tentang Kura-kura Tua yang cangkangnya bermotif titik-titik warna emas.
Yang tidak Daniela sadari, “macet” yang dimaksud si pria sialan adalah “berkencan dengan Armelia”.
Dan malam itu, ia—yang sedang menunggu seorang pria yang mengaku memiliki sebuah kedai kopi yang hampir rubuh—melihat Armelia duduk berdua dengan laki-laki yang tidak ia kenali. Kursinya tak terlalu jauh, memudahkannya mendengar kalimat Armelia:
“Menikah denganku, mau?”
Daniela berbaju merah, tapi hatinya langsung menyala lebih marah. Ia tak tahu marah pada siapa: dirinya sendiri, Armelia, atau bahkan si pria sialan. Lukanya mendadak terbuka di kedai kopi tua yang menunya cuma cappuccino dan sandwich berisi telur dadar.
Setelah membayar secangkir cappuccino tengik, ia langsung pulang tanpa repot-repot meninggalkan pesan lewat si pelayan. Hatinya mendadak ingin meledak begitu saja.
Daniela tidak tahu kenapa harus merasa begitu. Ia hanya ingin menangis, padahal ia pikir sakitnya telah sembuh dan lukanya sudah kering.
Daniela sadar satu hal, dan ini sungguh aneh bukan kepalang:
Ia rindu setengah mati pada si pria sialan, tapi ia tidak suka membayangkan Armelia bakal menikah dengan orang lain selain si pria sialan.
Baca cerita berikutnya di sini.