Patah hati tak pernah mudah, tak peduli kamu ditinggalkan atau memilih pergi duluan. Satu hari bisa berjalan lancar, tapi satu hari lainnya terasa berat karena tiba-tiba kamu dihantam kenangan.
Di toko buku yang kamu kunjungi sendirian, kamu bisa saja membeli buku psikologi atau agama dengan tujuan menguatkan hatimu yang sedang rapuh. Aku melakukannya lima tahun lalu, sambil setengah tertawa dan setengah meratapi diri sendiri. Orang-orang pikir nanti lukanya sembuh karena waktu, tapi ternyata ada banyak hal yang bisa menyeruak setelah perpisahan.
Di kesempatan lain patah hati, ada masanya kamu cuma ingin menangis karena sakit yang luar biasa. Aku tak ingat ada hal lain yang lebih menarik dari bersedih saat itu, saat akhirnya aku baru bisa mencerna makanan di hari keempat. Melihat ponsel sebagai sebuah kebiasaan adalah hal yang menyiksa karena tak akan ada lagi notifikasi yang aku nanti-nantikan. Kalaupun namanya kemudian muncul, aku hanya akan mengenalinya sebagai pembohong besar yang menghancurkan harapan.
Mungkin pengalaman-pengalaman menyesakkan masa lalu membuatmu berpikir kamu akan cukup dewasa kalau harus patah hati lagi untuk kesekian kali. Namun saat waktunya tiba, kamu cuma bisa mematung dan menyadari dunia kadang-kadang kelewat kejam, sementara kamu tak tahu lagi harus berlindung ke mana. Sedetik kemudian, kamu berpikir untuk mencari kejelasan, padahal akhirnya kamu tahu semua akan sia-sia.
Atau setidaknya, begitu yang pernah aku alami.

Jadi, dari banyak kisah-kisah gagal yang membuatmu putus asa, kamu sudah menumpahkan banyak air mata dan nyeri tak tertahankan. Kawan-kawanmu datang bergantian, memastikan kamu memakan sarapanmu atau sekadar tidur di kamar yang layak (alih-alih kamar yang penuh dengan tumpukan sampah dan barang-barang yang dibanting), menemanimu melewati hari yang panjang, dan mendengar semua yang mau kamu katakan. Setelah masa-masa ditemani yang cukup intens itu, kamu mulai bisa bepergian sendirian, berputar di jalan mana saja yang kamu mau, memilih meminum kopi atau tidak, dan bertindak apa saja yang meredakan emosimu.
Patah hati tidak pernah mudah karena kehilangan selalu jadi hal yang sulit.
Kalau ini hanya soal pergi dan datang, mungkin kamu tidak peduli. Yang menjadikan ini berat adalah bagaimana yang berjalan harus berhenti tiba-tiba.
Aku melewatkan kesempatan untuk menyadari bahwa patah hati adalah salah satu fase yang mungkin mmengubah caramu berpikir dan memandang dunia. Pada masa-masa putus cinta yang dialami banyak orang di sekitarku, mulanya kukira hanya luka biasa dan mereka akan mampu menanganinya. Yang ingin lepas, harus segera dilepaskan; begitu yang kutahu dari banyak kutipan dan afirmasi influencer di media sosial. Tak pernah terpikirkan buatku bahwa rasanya lebih buruk daripada pergi ke dokter gigi dan mengantre hanya untuk sebuah layanan scalling.
Dari patah hati, kamu mungkin akan membenci. Menghentikan akses dengan alasan “kewarasan diri” atau justru memulai hidup baru, bagaimana pun caranya. Terakhir kali hatiku berdenyut kesakitan karena luka yang demikian, aku memutuskan keluar dari kota yang paling aku suka di dunia, meninggalkan banyak teman yang selalu aku bangga-banggakan, dan melepas pekerjaan yang sudah lama aku idam-idamkan. Tidak ada yang terasa sepadan dan aku terus merutuki keputusanku sendiri di tempat yang baru, berpikir bahwa semuanya tak seimbang dan bertanya-tanya: kenapa hanya aku yang harus merasa terbuang?
Tapi, dari patah hati yang sama, kamu belajar mengelola kebencian yang menguasaimu. Kamu menulis. Kamu mungkin saja menciptakan lagu. Kamu berkeliling kota, atau mengunjungi tempat-tempat asing di area yang belum pernah kamu datangi. Kamu mencari makanan yang menantang. Kamu mengirim surat. Kamu mungkin berlatih menggambar, mengendarai mobil, atau membuat prakarya dari kain bekas.
Kamu menyalurkan emosimu dan, dengan cara apa pun itu, kamu berhak mendapatkan tenang yang pantas.

Jadi aku tahu satu hal lagi: Butuh waktu untuk berdiri dan melihat seluruhnya dengan kepala dingin. Bahkan, berpisah juga soal merelakan, termasuk rela menyadari bahwa kita butuh waktu lebih banyak untuk mulai bernapas seperti biasa, untuk menjalani hidup tanpa tekanan membalas dendam, atau untuk menjadi diri sendiri yang tidak terpengaruh keinginan pergi selama-lamanya ke dunia setelah kehidupan.
Bukan hal yang mudah (bagian ini kujamin 100%), tapi layak dicoba.
Patah hatimu yang terjadi lima tahun lalu, tiga tahun lalu, atau dua tahun lalu sesungguhnya adalah cara tubuhmu ingin membuang air mata tidak berguna dan kebencian yang mendidih sampai mampu menggerogoti jiwamu sendiri. Seluruhnya adalah pengalaman yang tajam dan tak ingin lagi kamu ingat-ingat, tapi kuharap kamu, dan kita semua, selalu meletakkan ini dalam ingatan:
Siapa pun yang pergi, bagaimana pun ia menyakitimu, semuanya tak mengurangi fakta bahwa dirimu selalu layak dijaga. Kali ini, biarkan dirimu sendiri yang bekerja menjaga setiap jengkal sel yang kamu punya. Kehilangan dan perpisahan yang berat ini tak butuh hal lain lagi yang menyedihkan.
I love you, Kamu. Bertahanlah, ini cuma cara jadi dewasa yang sedikit menyiksa.
Cilegon, 18 Januari 2021
Sekarang sudah lega,
Lia(-nya Mas Haris)